22 Nov 2012

Sumber Kehidupan: no way out!

Suatu malam saya berangkat dari tempat tinggal ke sebuah tempat yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan (+/- 40 km). Saya dapat bangku di belakang, di sebelah kiri. Tidak lama di situ saya langsung tahu kalau knalpot minibus itu bocor, hidung saya sampai perih menghirup asap yang masuk dari bawah itu.

Lalu saya buka jendela di depan saya, sayangnya hanya bisa terbuka selebar 3 cm saja karena ada penghalang di ujung yang satu lagi. Angin dari luar tidak bisa masuk dengan bebas dan hanya mengarah ke tengah, tidak bisa ke belakang. Jadi ketika hidung saya sangat perih karena menghirup asap itu, saya harus memajukan badan saya agar wajah saya mencapai tepat di samping jendela. Dengan begitu saya bisa menghirup udara yang jauh lebih segar, walaupun jalanan juga berabu.

Untuk waktu yang sangat singkat saya terpikir merefleksikan kehidupan ini dengan kejadian tersebut. Bahwa kita harus dekat dengan sumber kehidupan, udara yang lebih segar. Seperti yang dikatakan Ebiet G Ade di sebuah lagunya, "di bumi yang berputar, pasti ada gejolak" (Apakah Ada Bedanya). Di tengah-tengah hiruk pikuk dunia ini tentu ada banyak gesekan dan perselisihan di antara penghuninya. Terkadang kita tidak bisa menghindari tabrakan dengan sesama, bahkan dengan diri sendiri, baik secara pandangan bahkan secara fisik sekalipun. Sehingga kita merasa tidak nyaman, sumpek dan terkadang perih di hati. Mau lari kemana? Gelisah, sambil membayangkan kehidupan yang lebih nyaman. Seandainya kita bisa menyusun setiap bagian dari kehidupan kita yang utuh ini, barangkali kita bisa memilih hal-hal yang baik saja. Lalu menyusunnya untuk membangun diri kita menjadi manusia sesuai kehendak kita sendiri. Pasti amat menyenangkan. Tapi apa mungkin?

Tentu tidak mungkin! Tapi itulah masalah kehidupan, bahan bakar untuk manusia mau berpikir dengan lebih berkualitas. Demikianlah indahnya sebuah sajak dari WS Rendra Sajak Sebatang Lisong "apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan." Dan memang kita harus masuk ke dalam masalah kehidupan itu sendiri dan menghadapinya, no way out.

Secara iman juga kita meyakini bahwa penderitaan dimulai sejak manusia tidak menaati Allah, dalam Perjanjian Lama (Kej. 3). Kristus juga berpesan agar kita memikul salib, dalam Perjanjian Baru (Mat. 10:38; 16:24 dyb)No way out. Dan kita dituntut untuk setia dalam hal ini. Tapi apakah setia saja cukup? Bukankah kelima gadis yang bodoh juga setia (Mat. 25:3 ff)? Setia menanti dan menyambut kedatangan Sang Mempelai Pria? Lalu kenapa mereka akhirnya "tinggal?" Tentu saja karena mereka tidak membawa persediaan cadangan minyak untuk pelita mereka. Kurang bersiap.

Ya, persiapan tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan menjalani rentetan kehidupan yang akan kita hadapi hari demi hari ke depan. Bersiap-siaplah kita, sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi bahkan sedetik setelah kita membaca tulisan ini. Bersiap menghadapi kejutan-kejutan kehidupan. Namun jika kita sampai pada tahap tertentu maka kita akan mampu menikmati setiap kejutan yang datangnya selalu tiba-tiba. Tentu saja tiba-tiba, jika tidak tiba-tiba tentu kita tidak akan terkejut... :)

Capek? Penat? Perih? Tentulah. Tapi kita bisa kok menyejukkan hati dan menyegarkan jiwa kita. Bagaimana? Ya seperti yang saya alami di bus itu, dengan mendekatkan diri kepada Sumber Kehidupan, menghirup udara yang lembut dari Firman yang murni. Membangun kembali kehidupan kita dan menatanya sesuai kehendak Sang Pencipta. Lalu kita akan dipersiapkan-Nya untuk memasuki lagi kehidupan dengan tetap memandang pada rencana indah Allah Bapa yang mengasihi kita.

Mazmur 23:2-3, "Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya."

nb.: salam rindu buat Ermon Asido Siahaan, pemilik "menjalani prosesnya itu yang nikmat, bro!"

2 komentar:

Apa yang kita tulis merupakan apa yang kita katakan. Apa yang kita katakan keluar dari hati. Silakan berkata-kata dengan hati, sopan dan santun.