26 Sep 2013

Seharusnya Saya "Menolongnya"

Dunia ini bekerja keras untuk mengaburkan kasih di antara umat
manusia. Si jahat akan berkeliling untuk menelan yang dapat
diterkamnya (1 Ptr. 5:8). Beberapa bulan yang lalu, ketika sermon
ressort di Sipirok, kami sampai pada pembicaraan bahwa kasih itu mesti
kreatif.

Awalnya berbicara tentang orang Kristen yang mesti membuahkan kasih
dalam hidupnya. Kemudian ada tanggapan dari seorang penatua bahwa
tidak mudah menerapkan kasih dalam hidup ini, karena banyak aspek yang
mesti diperhatikan. Kemudian sampai pada contoh kasus, di mana
misalnya ada yang memerlukan bantuan di jalan karena kendaraan rusak.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa kita mesti berhati-hati menghadapi
kasus seperti ini di jalan, karena sering terjadi penodongan atau
perampokan dengan modus kendaraan rusak di jalan.

Lalu bagaimana? Jika daerah itu memang benar-benar sepi penduduk, ada
baiknya kita melewatkan saja. Namun kita mesti memberitahukannya ke
bengkel yang pertama dijumpai, agar montir segera menolong kendaraan
yang rusak itu. Lagipula itu adalah rezeki bagi bengkel tersebut, dan
dia bisa membawa beberapa temannya ke tempat itu. Tentang harga,
mungkin bisa sedikit ditambah karena montir yang melayani ke tempat
kendaraan yang rusak itu.

Dalam sermon itu kami setuju dengan cara itu, sebab kita mesti menjaga
diri kita, namun kasih juga tidak tertinggalkan. Karena kita mesti
hati-hati di zaman ini.

Ada apa dengan zaman ini? Bukankah kita harus menolong orang yang
kesusahan? Bukankah mestinya itu adalah buah dari kasih, yang
ditanamkan ke dalam hati kita melalui Firman yang sejak kecil kita
dengar? Ya! mestinya tolong-menolong menjadi tatanan hidup umat
manusia sesuai kehendak Allah Yang Mahakasih. Tapi si jahat selalu
berusaha untuk merusaknya.

Tentu tidak ada yang ingin kendaraannya rusak di jalan sepi, dan tentu
saja kita iba dan terdorong untuk menolongnya. Kondisi itu
dimanfaatkan oleh orang-orang jahat yang mau menjebak, menodong dan
merampok orang yang justru tergerak ingin menolong. Ini merusak
tatanan kasih yang mestinya tolong-menolong di antara umat manusia.
Orang-orang berpikir dua kali jika menjumpai kejadian seperti itu
lagi, baik dalam kasus yang berbeda seperti di pasar, swalayan, di
lokasi ATM dengan modus yang berragam.

Begitulah yang saya alami pada hari Sabtu, 14 September 2013, di
Pematangsiantar. Seorang ibu datang menghentikan langkah kami begitu
keluar dari ruangan ATM di Bank BRI di depan Taman Bunga. Kami tidak
melihat kapan dia datang, tapi seperti keluar dengan tiba-tiba dari
samping di bagian yang gelap (waktu itu malam). Dia segera
mengutarakan maksudnya meminta tolong supaya saya mau mentransfer
sejumlah uang ke adiknya via ATM, dan dia menggantinya dengan uang
tunai.

Pada saat itu saya bersikap protektif dan tegas mengatakan supaya ibu
itu menunggu orang lain saja. Lalu kami pergi, dan mendengar dia
berkata "Sehat-sehatlah kalian, ya." Sempat ada rasa tidak enak dan
ingin kembali untuk menolongnya, namun mekanisme pertahanan diri saya
mengatakan "tidak."

Di rumah, saya ingin membela diri dan tidak rela merasa bersalah. Saya
berpikir dan mencari alasan-alasan logis dari kejadian yang sempat
terekam, maupun hanya dengan mengaitkannya dengan peristiwa penipuan
dan hipnotisme belakangan ini. Namun akhirnya saya harus menyerah
kepada kehendak Allah yang menyatakan bahwa saya bersalah karena
meninggalkan kasih. Kasihnya kurang kreatif.

Seharusnya saya cek dulu uang tunai yang ditawarkannya sebagai ganti
yang ditransfer, memastikan asli atau palsu. Seharusnya saya meminta
kesediaannya untuk difoto wajah dan mengirim gambarnya melalui BBM,
untuk menjaga jika benar terjadi penipuan. Itu diperlukan karena jika
memang dia penjahat mungkin akan menghipnotis kita sehingga mungkin
barang-barang kita akan ikut hilang termasuk handphone. Seharusnya
saya mencoba menolongnya.