23 Feb 2013

Melacak Jejak Batak di Jakarta


lagi baca-baca di Kompas.com dapat berita ini, cukup memotivasi tentang survival dan persaudaraan. sumber beritanya klik di sini.

Minggu, 3 Februari 2013 | 09:13 WIB
Demi kehormatan dan kesuksesan, orang Batak lalu mengembara. Di perantauan, mereka membuat jejak berupa perkampungan Batak, gereja, dan deretan ”lapo” atau kedai Batak.

Lapo-lapo itu berderet memanjang. Aneka menu khas Batak tertulis jelas di papan nama lapo, mulai dari ikan mas arsik, sambal teri, hingga saksang, dan panggang. Terselip di antara deretan lapo, warung mi siantar dan pedagang pisang barangan khas Medan.

Itulah sejumput suasana Sumatera Utara yang hadir di sepanjang Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur. ”Datanglah hari Minggu, sepanjang jalan ini penuh mobil. Orang yang baru pulang dari gereja mampir makan. Wuih, penuh asap dan harum panggangan,” ujar G Marpaung (70), yang tinggal di daerah itu.

Di belakang deretan lapo-lapo itu, suasana Tanah Batak lebih kental lagi. Di sana ada perkampungan orang Batak yang disebut Kampung Mayasari (karena di situ pernah ada pul bus Mayasari Bhakti). Penghuninya adalah orang Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Angkola.

Tidak mengherankan, lagu-lagu pop Batak senantiasa terdengar dari kampung itu. Gereja Batak bertebaran di sejumlah sudut. Saking banyaknya gereja, baru 200-an meter melangkah sudah tiga gereja terlewati.

”Warga RW 008 di sini 99,9 persen orang Batak,” kata Marpaung, yang tinggal di kampung itu sejak tahun 1969.

Kampung Mayasari merupakan salah satu jejak diaspora orang Batak di Jakarta. Di luar itu, ada kantong-kantong permukiman orang Batak lainnya di Jakarta dan sekitarnya, yakni di Pulo Mas, Kernolong, Peninggaran, Pramuka, Senen, Taman Mini Indonesia Indah, hingga Tambun (Bekasi).

”Mulanya hanya satu keluarga, nanti bertambah. Kalau sudah ada rumah makan Batak, berarti sudah banyak orang Batak di situ,” kata B Ginting (50), yang pernah tinggal di Kampung Mayasari.

Lapo dan terminal

Martogi Sitohang (42), seniman Batak, secara berseloroh menambahkan, cukup satu orang Batak tinggal di satu tempat. ”Nanti dia akan mencari saudaranya atau dicari keluarganya. Kalau sudah bertemu, mereka berkumpul,” katanya.

Mereka tidak perlu takut tercecer di perantauan. Datang saja ke gereja, lapo, dan terminal pasti bertemu dengan saudara. ”Cukup memberi salam, menyebutkan marga, kampung, dan nomor urut silsilah. Contohnya nih, Sihombing nomor 15, setelah dicocok-cocokkan masih saudara, pintu rumah Sihombing pun pasti terbuka,” kata Martogi.

Makna kekerabatan buat orang Batak itu memang sangat luas. Kekerabatan tidak hanya tercipta karena pertalian darah, tetapi juga karena pertalian marga dan perkawinan. Martogi mengenang ketika pertama kali merantau ke Jakarta ia mencari saudara di gereja dan lapo. Saudara yang ditemukan di perantauan itulah yang membantunya mendapatkan pekerjaan. Setelah itu, ia memberikan kabar ke kampung bahwa ia telah bertemu tulang-nya (paman).

Jika si perantau berhasil, biasanya saudara atau teman sekampung akan datang menyusul. Dan, si perantau yang sukses wajib membantu. Itu sebabnya, orang Batak di perantauan terbiasa menampung pendatang Batak di rumahnya. ”Saudara saya dan istri begitu datang ke Jakarta semua tinggal dulu di rumah saya. Setelah mereka mapan, mereka bisa membangun rumah sendiri di tempat lain,” ujar G Marpaung.

Ke Jakarta

Dengan cara itu, orang Batak di perantauan cepat berkembang. Lance Castle dalam The Ethnic Profile of Djakarta menyebutkan, orang Batak pertama kali merantau ke Jakarta tahun 1907. Jejak perantau pertama di Jakarta berupa kebaktian berbahasa Batak pada 20 September 1919. Mereka lalu membangun Gereja HKBP Kernolong Resort Jakarta yang tercatat sebagai gereja Batak tertua di Jakarta.

Hingga kini, gereja di Gang Kernolong, Jakarta Pusat, itu masih digunakan jemaat Batak. Praeses HKBP Distrik DKI Jakarta Pendeta Colan WZ Pakpahan mengatakan, gereja-gereja HKBP lain di Jakarta dapat dikatakan pemekaran dari Kernolong. ”Dulu, banyak sekali orang Batak tinggal di Kernolong. Sekarang, sebagian pindah ke daerah lain di Jakarta,” ujarnya.

Tahun 1930, ada sekitar 1.300 orang Batak di Jakarta. Tahun 1963, jumlahnya berlipat menjadi 22.000 orang. Hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010 mencatat, jumlah orang Batak di Jakarta mencapai 326.332 orang. Kalau ditambah orang Batak di Bogor, Tangerang, dan Bekasi jumlahnya mencengangkan.

Menurut Castle, etnis Batak termasuk kaum perantau terbesar di Indonesia. Tahun 1930, sebanyak 15,3 persen orang Batak tinggal di luar kampung halamannya. Migrasi besar-besaran terutama terjadi setelah revolusi tahun 1945-1949. Mereka menangkap peluang pendidikan dan kehidupan modern. Awalnya, mereka merantau di daerah pesisir Sumatera. Selanjutnya, mereka menargetkan Jakarta.

Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan Bungaran Antonius Simanjuntak menengarai, migrasi orang Batak keluar kampungnya didorong pandangan hagabeon (sukses berketurunan), hasangapon(kehormatan), dan hamoraon (kekayaan). Nah, Jakarta dipandang menjanjikan itu semua.

”Begitu orang Batak sukses pulang kampung, cepat-cepatlah anak muda di kampung ikut merantau atau orangtua mengirim anaknya bersekolah supaya bisa jadi seperti orang itu. Satu sukses jadi pengacara, banyak yang ingin jadi pengacara,” katanya.

Budayawan Batak Togarma Naibaho (57) mengatakan, orang Batak umumnya memang merantau untuk sekolah dan bekerja. Pendidikan anak menjadi ukuran keberhasilan orangtua. Kasarnya, orangtua Batak rela melakukan apa saja demi pendidikan anaknya, mulai dari jual kerbau sampai kebun. Tidak heran jika pendidikan orang Batak rata-rata tinggi. ”Tahun 1970-an, pendidikan perantau Batak di Jakarta rata-rata sudah SMA,” ujar Togarma.

Sesuai dengan ucapan Togarma, Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra menuliskan, orang Batak Toba, Mandailing, dan Karo termasuk orang Indonesia berpendidikan terbaik pada abad ke-19, selain Minangkabau, Minahasa, dan Toraja.

Dengan pendidikan tinggi, orang Batak bisa masuk ke berbagai posisi. Presiden Soekarno, misalnya, banyak melibatkan orang Batak dalam pembangunan. Salah seorang di antaranya adalah Friedrich Silaban, arsitek Masjid Istiqlal. Di zaman Gubernur Ali Sadikin, orang Batak dipercaya menjadi pimpinan di pos-pos pemerintahan. Belakangan, Ali Sadikin merekrut banyak sopir taksi, bus PPD, dan guru dari Tanah Batak.

Dan... berkumpullah orang Batak di Jakarta! (Indira Permanasari dan Budi Suwarna)

Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Egidius Patnistik

22 Feb 2013

Lilitkanlah Pita Kuning Pada Sebatang Pohon Ek Tua


Dulu aku pernah membaca kisah di bawah ini, lalu menemukannya kembali dalam sebuah buku. Dengan senang hati aku menuliskannya untuk kita, kisah kasih pengampunan ini, serta link lagu di akhir cerita.

Sebuah surat kabar New York City mengisahkan cerita tentang sekelompok anak muda yang sedang bepergian dengan bus dalam suatu tamasya ke Florida. Dalam perjalanan, mereka melihat seorang pria berkulit hitam kelam, berumur setengah tua, mengenakan pakaian lusuh, dan tampak agak cemas duduk membungkuk di kursinya, dengan kepala menunduk.

Ketika bus itu berhenti di sebuah rumah makan di pinggir jalan raya, setiap orang keluar kecuali Vingo, demikian anak-anak muda itu menyapanya. Anak-anak muda itu ingin tahu tentang dia: dari mana ia datang dan ke mana ia pergi? Akhirnya, salah seorang anak gadis duduk di sampingnya dan berkata, “Pak, kita sedang menuju Florida, maukah engkau minum Coke?”

Ia meneguk sedikit dan berkata, “Terimakasih.” Sesaat kemudian ia mengisahkan riwayatnya.

Ia telah berlaku tidak baik terhadap keluarganya. Suami yang kasar, ayah yang pemarah, dan jarang pulang ke rumah. Ia melakukan banyak kejahatan hingga disekap dalam penjara New York selama tiga tahun. “Sementara saya tidak berada di rumah, saya menulis surat kepada istri saya jika ia tidak sanggup untuk menunggu, ia boleh melupakan saya. Saya mengatakan kepadanya tidak perlu bersusah payah menulis; dan ia tidak pernah menyurat.” Kemudian pria itu menambahkan, “Ia seorang wanita yang mengagumkan, sungguh baik, sungguh luar biasa.”

“Dan sekarang engkau sedang dalam perjalanan kembali ke rumah dan tidak tahu apa yang diharapkan, tidakkah demikian?” tanya gadis itu.

“Ya,” jawabnya, “engkau bayangkan, minggu lalu ketika pembebasan tiba, saya menyuratinya sekali lagi. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan datang dengan bus ini. Engkau akan lihat saat kita memasuki Jacksonville, tempat kami tinggal, dan di sana ada sebatang pohon ek besar. Saya mengatakan kepadanya seandainya ia menerima saya kembali, ia dapat mengikat sebuah pita kuning pada pohon itu dan saya akan turun dari bus dan kembali ke rumah. Jika ia tidak menghendaki saya lagi, lupakan saja dan saya tetap di dalam bus. Tidak ada pita berarti saya akan melanjutkan perjalanan.”

Gadis itu menceritakan kepada rekan-rekannya yang lain dan mereka segera ikut membantunya memperhatikan pohon ek itu. Mereka memandang potret istri dan anak-anak Vingo dan mereka semua bertambah cemas dan gelisah ketika mendekati Jacksonville.

Terasa sekali suatu keheningan dalam bus itu. Wajah Vingo tegang. Ia hanya duduk terpaku, menatap pohon ek yang sebentar lagi akan menentukan nasibnya. Kemudian sekonyong-konyong semua anak muda itu bangkit dari tempat duduknya, menjerit dan berteriak, memekik dan menari, kecuali Vingo. Ternyata, pohon itu telah ditutupi pita-pita kuning, sangat banyak jumlahnya. Pohon ek itu telah berubah menjadi umbul-umbul ucapan selamat datang. Ketika anak-anak muda itu berteriak, Vingo bangkit dari duduknya, melangkah ke bagian depan bus, melemparkan senyum kepada para sahabat mudanya itu lewat banjir air mata, lalu turun.

Jika suatu saat anda mendengar seseorang menyanyikan lagu “Tie a Yellow Ribbon Round the Old Oak Tree,” ingatlah kisah ini.

21 Feb 2013

Perkawinan dan Selibat



Dahulu kala, lebih dari 1700 tahun silam, seorang pemuda memutuskan untuk menjadi orang kudus. Ia meninggalkan rumahnya, keluarganya, dan segala harta miliknya. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada sanak keluarga dan teman-temannya, menjual segala miliknya dan memberikan uang itu kepada orang-orang miskin, dan menuju padang gurun untuk menemukan Allah.

Ia menyusuri hamparan padang gurun hingga menemukan sebuah gua yang gelap. “Di sini,” pikirnya, “saya akan menyendiri bersama Allah. Di sini tidak ada sesuatupun yang dapat memisahkan saya dari Allah.”

Ia berdoa siang dan malam dalam gua yang gelap itu. Tetapi Allah mengiriminya godaan-godaan besar. Ia membayangkan semua hal-hal yang bagus dalam hidup dan ia benar-benar menginginkannya. Bagaimanapun, ia telah bertekad untuk melepaskan segala sesuatu agar dapat memiliki Allah, sebagai satu-satunya. St. Antonius dari Mesir berada dalam damai dan yang dimilikinya hanyalah Allah.

Tetapi kemudian, menurut legenda, Allah berkata, “Tinggalkanlah guamu untuk beberapa hari dan pergilah ke sebuah kota yang jauh letaknya. Carilah tukang sepatu di kota itu. Ketuklah pintunya dan tinggallah bersama dia beberapa saat.”

Petapa suci itu merasa bingung oleh perintah Allah ini. Tetapi pada pagi berikutnya, ia berangkat. Ia berjalan sehari penuh melintasi padang pasir. Ketika hari mulai malam, ia tiba di kota itu mendapati rumah tukang sepatu dan mengetuk pintunya. Seorang pria penuh senyum membukanya.

“Engkaukah tukang sepatu kota ini?” tanya petapa itu.
“Benar,” jawab tukang sepatu. Ia memperhatikan betapa lelah dan lapar tampaknya sang petapa. “Masuklah,” katanya. “Anda membutuhkan sesuatu untuk dimakan dan tempat untuk beristirahat.”

Tukang sepatu itu memanggil istrinya. Mereka menyediakannya hidangan yang lezat dan tempat tidur yang nyaman.

Petapa itu tinggal bersama keluarga tukang sepatu selama tiga hari tiga malam. Petapa mengajukan banyak pertanyaan tentang kehidupan mereka. Tetapi ia tidak mengungkapkan banyak hal tentang dirinya, walaupun demikian pasangan itu sangat ingin tahu tentang kehidupannya di padang gurun. Mereka banyak bercerita tentang dan menjadi teman akrab.

Kemudian sang petapa berpamit kepada tukang sepatu dan istrinya. Ia berjalan kembali ke gua sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa Allah menyuruhnya mengunjungi tukang sepatu.

“Bagaimana sikap tukang sepatu itu?” Allah bertanya kepadanya setelah ia kembali di dalam gua yang gelap.
“Ia seorang pria yang sederhana,” tuturnya. “Ia mempunyai seorang istri yang akan segera melahirkan seorang anak lagi. Mereka tampaknya sangat mencintai satu sama lain. Ia mempunyai sebuah perusahaan kecil tempat ia membuat sepatu-sepatunya. Ia bekerja keras. Mereka mempunyai sebuah rumah yang sederhana. Mereka memberi uang dan makanan kepada orang-orang yang nasibnya kurang beruntung daripada mereka. Ia dan istrinya beriman teguh kepadaMu dan mereka berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari. Mereka mempunyai banyak sahabat. Dan tukang sepatu itu gemar mengisahkan cerita jenaka.”

Allah mendengar dengan penuh perhatian. “Engkau seorang saleh yang sejati, Antonius,” kata Tuhan, “dan tukang sepatu bersama istrinya adalah juga orang-orang saleh yang sejati.”

- Brian Cavanaugh -

3 Feb 2013

Tenang dan tenteram mendoakan orang lain



Kamis, 31
 Januari 2013
Masuk Minggu Sexagesima
Bahan PA dari 1 Timotius 2 : 1 - 6

                Bersediakah kita mendoakan orang yang telah melukai perasaan atau bahkan mencelakai kita? Jika kita mendengar berita tentang suatu kejahatan atau kekerasan terjadi pada saudara-saudara seiman kita di tempat lain, barangkali kita dengan segera mendoakan para pelaku kepada Bapa di sorga. Kita memohon agar para pelaku dapat segera mengenal kedamaian dalam hatinya. Namun jika kita mengalami sesuatu yang terjadi secara langsung pada diri kita sendiri, terhadap perasaan kita, mungkin butuh waktu agar kita bisa mendoakannya. Kita dengan sukarela mengambil jarak dari kedamaian dengan cara membenci, mengingat-ingat kesalahan orang lain, atau bahkan memelihara dendam!
*****
Rasul Paulus memberikan Timotius tugas dalam pelayanannya. Pertama-tama Timotius dinasihatkan untuk berdoa syafaat: mendoakan semua orang dan mengucap syukur atasnya, termasuk kepada raja-raja dan pembesar-pembesar. Tujuannya adalah “agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan.” Sebab itulah yang baik dan berkenan kepada Allah: tenang, tenteram, saleh dan terhormat.
                Namun bagaimana mendoakan orang lain (doa syafaat) dapat membuat kita hidup tenang dan tenteram dalam kesalehan dan kehormatan? Pertama-tama, Paulus menasihatkan hal ini kepada Timotius untuk menentang ajaran Yahudi dan Gnostisime yang membatasi keselamatan hanya untuk satu kaum saja. Sementara kehendak Allah adalah agar semua orang beroleh keselamatan dengan memiliki pengetahuan akan kebenaran. Semua orang termasuk para raja dan pembesar didoakan agar mengenal pengetahuan akan kebenaran sehingga kehidupan sosial dapat berjalan dalam damai dan pemerintahan dapat memelihara damai sejahtera. Itulah kehendak Allah atas dunia ini.
                Karena itu berdoa untuk orang lain sangat penting dan menjadi tugas kita sebagai satu jalan demi terjadinya kehendak Bapa di dunia ini. Bukankah kita disuruh untuk membawa kedamaian dan berita kesukaan bagi seluruh umat manusia? Bukankah kita ingin agar Darah Kristus yang kudus dan berkuasa itu turut juga menyelamatkan orang-orang lain? Nah, agar kita tidak menjadi “orang buta menuntun orang buta,” hendaknya kita lebih dahulu memberanikan diri mendoakan orang lain sehingga kita sampai pada tingkat kehidupan yang memiliki dan merasakan kedamaian, ketenangan, ketenteraman, kesalehan dan kehormatan itu.
*****
Maka kita haruslah lebih dahulu hidup di dalamnya. Itu tidak kita dapatkan dari luar, melainkan anugerah yang indah dari Bapa di sorga ke dalam hati kita yang terdalam. Ketenteraman itu kita terima ketika kita mampu hidup dalam kasih Kristus yang penuh rahmat. Kita seharusnya tidak membiarkan kebencian dan dendam serta amarah menghalangi kita untuk menyentuh rahmat yang sudah tersedia itu.
                Membenci atau menaruh dendam kepada orang lain sebenarnya adalah doa dan harapan agar orang itu tidak beroleh keselamatan: di dunia dan di akhirat. Ini bukan hal yang dikehendaki oleh Allah, dan kita menantang Yang Mahakuasa jika kita membenci dan memelihara dendam. Perdamaian membuat hidup kita tenang dan tenteram, mendorong kesalehan hidup dan memberi kehormatan. Inilah isi dari damai sejahtera yang menjadi kehendak Allah.
*****
Sekilas tentang doa
                Kita sudah mendengar tentang doa adalah nafas kehidupan orang Kristen, bahkan sejak kanak-kanak. Sebenarnya apa maksud yang hendak disampaikan perkataan itu? Nafas, atau dalam bahasa Ibrani vpn nefesy berarti angin, nafas, dan juga roh. Angin, nafas dan roh memiliki kesamaan dalam cara beradanya: tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. Karena itu doa adalah roh manusia, sehingga orang Kristen yang tidak berdoa adalah orang yang tidak bernafas, tidak memiliki roh: manusia hidup yang sebenarnya mati!
                Doa membuat orang hidup, dan sebaliknya tanpa doa orang tidak hidup. Sebab doa adalah puncak dari bakti dan pujian serta penyampaian harapan kepada Allah Sumber Kehidupan. Doa merupakan perbuatan tertinggi (bakti) yang dapat dilakukan oleh roh manusia. Ini merupakan persekutuan dengan Allah selama penekanannya diberikan kepada prakarsa ilahi. “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24; bnd. Kej. 2:7). Kita percaya bahwa doa hanya dilakukan oleh roh, sebab “apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari roh, adalah roh” (Yoh. 3:6). Karena itu doa merupakan kegiatan roh dan ketika kita berdoa kita harus yakin bahwa roh kita sedang membangun hubungan yang lebih intim dan sangat dekat dengan Allah yang adalah Roh. Itulah sebabnya Roma 8:26 mengatakan, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan.”
Oleh karena itu, doa adalah benar hidup orang percaya, digambarkan sebagai nafas dan bertindak di dalamnya roh kita sendiri yang ditolong oleh Roh Allah. Lalu bagaimana jasmani kita bisa menembus dunia roh itu? Ini ditunjukkan dalam sikap yang diam, hening dan penuh hormat sebab roh kita sedang “terhubung” dengan Roh Yang Mahakudus. Doa melibatkan seluruh kegiatan jasmani kita, sebab seluruh gerak-gerik tubuh kita menunjukkan apa yang sedang terjadi “di dalam” kita. Adalah baik dan benar dan penuh hormat apabila kita diam dan hening ketika roh kita berbicara kepada Yang Mahakudus. Begitupun keseluruhan hidup kita adalah baik dan benar untuk tetap tenang, tenteram, saleh dan terhormat serta penuh hormat.