28 Nov 2012

Dia datang kembali dan kita selamat

Kami baru selesai belajar PAK (Pendidikan Agama Kristen). Waktu sedang menutup kelas langit memang sudah agak gelap, angin juga mulai kencang. Setelah kelas ditutup tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, walau kemudian langit kembali terang. Ini "hujan panas," katanya bisa bikin sakit. Adik-adik itu jadi terhalang untuk pulang, dan akhirnya mereka menunggu di dalam gereja kecil kami itu.

Mereka saling bercanda sambil menunggu hujan reda. Tak ada wajah cemas, walau hujan sungguh deras. Barangkali berbeda dengan perasaan orangtua mereka di rumah, yang mungkin sedang berdoa demi keselamatan anak-anaknya.

Aku jadi teringat dengan soundtrack film Cinta Clarita, telenovela itu. "Apalagi yang kurang, kalau kau punya matahari dan udara?" Walau yang sekarang ini hujan, tapi tetap sajalah bersyukur. Karena walaupun kita terhalang untuk melakukan sesuatu karena hujan itu, tapi yang pasti itu menjadi berkat bagi orang lain yang membutuhkannya. Lagipula hujan merupakan satu dari sekian banyak alat kelengkapan demi kebahagiaan manusia yang dianugerahkan oleh Allah. Ya, kan?

Tapi yang sedang berputar di kepala saya bukan tentang hujan atau panas, melainkan perasaan orangtua yang menunggu kepulangan anaknya. Barangkali saya bisa pastikan kalau mereka cemas, apalagi yang pulang dengan sepeda motor. Jalanan licin, sementara itu adalah jalan lintas di mana mobil-mobil angkutan dan truk besar sering lewat. Pastilah, -kalau yang ini bisa dengan pasti saya pastikan- mereka berharap anaknya datang kembali dengan selamat.

Datang kembali dengan selamat. Kalau orangtua yang dinantikan, anak pasti berharap mereka datang kembali dengan selamat. Datang kembali dengan selamat, bagi orang-orang yang kita kasihi dan cintai. Keselamatan mereka adalah harapan dan sukacita kita. Tapi situasinya? Ya, kita sedang menanti berjumpa dan melihat mereka selamat, ada kecemasan, namun setelah berjumpa barulah kita bersukacita. Dan berpengharapan dalam Tuhan itu indah dan melegakan.

Nah, sekarang bagaimana sifatnya penantian akan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali? Apa kita berharap supaya Dia datang kembali dengan selamat? Tentu tidak, sebab Dia adalah Juruselamat. Apakah kita mencemaskan Dia, atau kita yang sebaiknya mencemaskan diri kita sendiri demi kedatanganNya?

Ya, kita tidak perlu mencemaskan Dia yang akan datang. Justru kita yang perlu cemas, bilamana Dia datang, tentang bagaimana kita ketika waktunya tiba. Tapi yang pasti, tentang pengharapan dan penantian ini bagi orang percaya bukan "datang kembali dengan selamat," melainkan "datang kembali dan selamat." Tidak ada kecemasan. Dia datang kembali dan kita selamat. Itulah yang kita nantikan. Semoga pengharapan kita hidup dan penantian kita penuh dengan kesetiaan.

Selamat memasuki dan menjalani masa Advent mulai minggu depan.

Mazmur 118:1, "Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya."

Sent from my Nokia phone

22 Nov 2012

Sumber Kehidupan: no way out!

Suatu malam saya berangkat dari tempat tinggal ke sebuah tempat yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan (+/- 40 km). Saya dapat bangku di belakang, di sebelah kiri. Tidak lama di situ saya langsung tahu kalau knalpot minibus itu bocor, hidung saya sampai perih menghirup asap yang masuk dari bawah itu.

Lalu saya buka jendela di depan saya, sayangnya hanya bisa terbuka selebar 3 cm saja karena ada penghalang di ujung yang satu lagi. Angin dari luar tidak bisa masuk dengan bebas dan hanya mengarah ke tengah, tidak bisa ke belakang. Jadi ketika hidung saya sangat perih karena menghirup asap itu, saya harus memajukan badan saya agar wajah saya mencapai tepat di samping jendela. Dengan begitu saya bisa menghirup udara yang jauh lebih segar, walaupun jalanan juga berabu.

Untuk waktu yang sangat singkat saya terpikir merefleksikan kehidupan ini dengan kejadian tersebut. Bahwa kita harus dekat dengan sumber kehidupan, udara yang lebih segar. Seperti yang dikatakan Ebiet G Ade di sebuah lagunya, "di bumi yang berputar, pasti ada gejolak" (Apakah Ada Bedanya). Di tengah-tengah hiruk pikuk dunia ini tentu ada banyak gesekan dan perselisihan di antara penghuninya. Terkadang kita tidak bisa menghindari tabrakan dengan sesama, bahkan dengan diri sendiri, baik secara pandangan bahkan secara fisik sekalipun. Sehingga kita merasa tidak nyaman, sumpek dan terkadang perih di hati. Mau lari kemana? Gelisah, sambil membayangkan kehidupan yang lebih nyaman. Seandainya kita bisa menyusun setiap bagian dari kehidupan kita yang utuh ini, barangkali kita bisa memilih hal-hal yang baik saja. Lalu menyusunnya untuk membangun diri kita menjadi manusia sesuai kehendak kita sendiri. Pasti amat menyenangkan. Tapi apa mungkin?

Tentu tidak mungkin! Tapi itulah masalah kehidupan, bahan bakar untuk manusia mau berpikir dengan lebih berkualitas. Demikianlah indahnya sebuah sajak dari WS Rendra Sajak Sebatang Lisong "apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan." Dan memang kita harus masuk ke dalam masalah kehidupan itu sendiri dan menghadapinya, no way out.

Secara iman juga kita meyakini bahwa penderitaan dimulai sejak manusia tidak menaati Allah, dalam Perjanjian Lama (Kej. 3). Kristus juga berpesan agar kita memikul salib, dalam Perjanjian Baru (Mat. 10:38; 16:24 dyb)No way out. Dan kita dituntut untuk setia dalam hal ini. Tapi apakah setia saja cukup? Bukankah kelima gadis yang bodoh juga setia (Mat. 25:3 ff)? Setia menanti dan menyambut kedatangan Sang Mempelai Pria? Lalu kenapa mereka akhirnya "tinggal?" Tentu saja karena mereka tidak membawa persediaan cadangan minyak untuk pelita mereka. Kurang bersiap.

Ya, persiapan tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan menjalani rentetan kehidupan yang akan kita hadapi hari demi hari ke depan. Bersiap-siaplah kita, sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi bahkan sedetik setelah kita membaca tulisan ini. Bersiap menghadapi kejutan-kejutan kehidupan. Namun jika kita sampai pada tahap tertentu maka kita akan mampu menikmati setiap kejutan yang datangnya selalu tiba-tiba. Tentu saja tiba-tiba, jika tidak tiba-tiba tentu kita tidak akan terkejut... :)

Capek? Penat? Perih? Tentulah. Tapi kita bisa kok menyejukkan hati dan menyegarkan jiwa kita. Bagaimana? Ya seperti yang saya alami di bus itu, dengan mendekatkan diri kepada Sumber Kehidupan, menghirup udara yang lembut dari Firman yang murni. Membangun kembali kehidupan kita dan menatanya sesuai kehendak Sang Pencipta. Lalu kita akan dipersiapkan-Nya untuk memasuki lagi kehidupan dengan tetap memandang pada rencana indah Allah Bapa yang mengasihi kita.

Mazmur 23:2-3, "Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya."

nb.: salam rindu buat Ermon Asido Siahaan, pemilik "menjalani prosesnya itu yang nikmat, bro!"

19 Nov 2012

Merayakan Natal di masa Advent (2): sebuah usul

Masih tentang merayakan Natal di masa Advent. Jadi kami sudah merancang suatu perayaan bagi muda-mudi Gereja dalam satu ressort. Melalui diskusi dengan beberapa teman, akhirnya kami sampai pada hal tentang sulitnya terpisahkan antara yang namanya Natal dengan lagu Malam Kudus yang dinyanyikan dengan penataan sedemikian rupa. Maksudnya, ketika lagu itu akan dinyanyikan maka lampu Gereja dipadamkan lebih dahulu dan lilin dipersiapkan di depan. Beberapa orang dipilih mewakili berbagai kategorial yang ada di Gereja dan maju untuk menyalakan lilin-lilin itu. Tentu maksudnya adalah untuk menyimbolkan arti kedatangan (kelahiran) Kristus Anak Allah ke dunia yang gelap dengan membawa terang ilahi.

Dunia yang gelap adalah pandangan umum Alkitab dalam melihat eksistensi dunia yang penuh dosa di hadapan Allah Sang Pencipta. Pandangan ini berada dalam ranah paham dualisme, sebab dibandingkan dengan 'eksistensi' Allah Pencipta yang kehadiranNya disaksikan Alkitab sebagai cahaya terang penuh kemuliaan. Maksud saya dualisme bukan untuk mensandingkan antara Allah dengan ciptaanNya sebagai yang patut diperbandingkan, melainkan berangkat juga dari terang yang merupakan salah satu ciptaanNya. Jadi pengenalan ini tidaklah berlebihan, selain juga sebagai yang diambil dari kesaksian Kitab Suci.

Jadi begitulah, kedatangan Kristus ke dunia diimani sebagai datangnya cahaya kemuliaan Allah Bapa yang akan mengusir kegelapan dari hidup manusia. Sungguh besar sukacita yang dihasilkan oleh berita ini, sehingga orang Kristen merayakannya dan menghadirkan kembali (merepresentasikan) kisah itu melalui simbol-simbol dalam liturgi. Simbol-simbol itu bisa berupa doa-doa khusus, dan bisa juga berupa tata cara perayaan seperti yang diterangkan di alinea pengantar di atas, beberapa Gereja juga menempatkan ikon maupun patung di gereja. (Tentunya masih ada banyak cara untuk ini.)

Dengan demikian, maka perayaan Natal dengan lagu Malam Kudus yang dinyanyikan dengan cara khusus (sambil menyalakan lilin dalam gelap) menjadi bermakna rohani yang dalam. Simbol itu merupakan pengakuan iman dari orang Kristen bahwa Kristus benar-benar telah datang untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan, dari kuasa dosa dan maut. Jika boleh dipakai istilah sekuler, bagian ini merupakan point of attraction dari perayaan itu. Selanjutnya saya mau mengatakan, bahwa sesuatu yang bermakna dalam sudah seharusnya ditempatkan di posisi yang benar. Memang, bisa saja kita tidur nyenyak di sebuah tempat tidur yang ditempatkan di halaman rumah yang menghadap ke jalan, toh itu hanya tempat tidur dan sifatnya terletak pada fungsinya. Tapi orang akan merasakan makna yang sesungguhnya dari sebuah tempat tidur jika ditempatkan di kamar tidur, ruang di mana seseorang akan kembali kepada keheningan.

Kembali kepada diskusi kami tadi, akhirnya melalui pembicaraan ringan muncul sebuah ide bagaimana agar point of attraction dari sebuah perayaan Natal tidak begitu saja sirna. Sebab, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan jika dihilangkan secara tiba-tiba akan melahirkan perasaan yang kurang sempurna, kurang lengkap, kurang enak. Ide itu sederhana saja, hanya menggunakan satu bagian yang sudah ada dalam tata ibadah dan merancangnya sedemikian rupa. Jadi dari perlengkapan yang diberikan oleh seksi acara, ada satu bagian yaitu liturgi lilin-lilin kecil. Liturgi ini terdiri dari lima bacaan yang dibawakan oleh lima orang, yang masing-masing memegang satu buah lilin. Kelima lilin itu menggambarkan: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran dan kesetiaan. Dalam liturgi yang dibacakan secara bergantian itu diceritakan bagaimana kelima hal tadi telah padam dan hilang dari tengah-tengah umat manusia.

Setiap seorang selesai membacakan liturginya maka dia meniup lilinnya sampai padam, demikian selanjutnya hingga kelima lilin itu padam. Lalu lampu gereja turut dipadamkan, dan musikpun mengalun pelan. Kemudian protokol membacakan suatu ajakan kepada manusia agar bertobat, dan satu persatu lilin dinyalakan. Setiap satu lilin menyala maka yang memegang lilin itu akan berjalan menuju jemaat dan menyalakan lilin yang dipegang oleh jemaat. Demikian seterusnya hingga kelima lilin tadi menyala kembali dan semua lilin yang ada pada jemaat turut menyala, sementara lagu terus mengalun dan lampu gereja kembali dinyalakan. Tentu saja maknanya adalah ajakan agar umat menyalakan lagi kasihnya, sukacita, damai sejahtera, kesabaran dan kesetiaannya yang telah padam demi mempersiapkan diri menyambut kedatangan Kristus. Spiritualitas Advent.

Begitulah rencana itu, walaupun itu hanya berupa usul namun kiranya cara ini dapat menggantikan lagu Malam Kudus yang sepatutnya dinyanyikan pada masa Natal, bukan di masa Advent. Sehingga umat (kita) tidak merasa seakan-akan "Malam Kudus" yang indah dan penuh rahmat itu dirampas begitu saja dan kita tidak tahu mencarinya harus kemana. Tapi jika dirasa memang harus merayakan Natal pada masa Advent, dengan Liturgi Kelahiran Yesus Kristus dan lagu Malam Kudus, kiranya perayaan itu dimulai sesiang mungkin atau paling lama dimulai jam 15.00 WIB. Maksudnya, dengan begitu tidak akan ada bagian dalam liturgi itu di mana lampu dimatikan dan lilin dinyalakan dalam kegelapan :)

Tabe tu Esra Hutabarat dohot Donald Aritonang

untuk mendapatkan konsep contoh tata tertib acara adven klik di sini

Sent from my Nokia phone

16 Nov 2012

Font untuk Mengetik Koor di Office Word (Pembaruan)

Mengapa kita menyanyi dalam memuji Tuhan? Bukankah memuji Tuhan bisa dilakukan dengan berkata-kata saja, kenapa harus bernyanyi? Apalagi kalau sudah berjumpa dengan yang namanya koor, wah repotnya mengonsentrasikan pikiran supaya tidak terpengaruh oleh suara teman di samping kita! Jawaban simpel yang mungkin bisa kita berikan adalah, dengan bernyanyi kita ingin memberikan yang terbaik bagi Tuhan dengan melantunkan puji-pujian itu seindah mungkin. Oleh karena itu, bernyanyi tidak boleh sembarangan atau sesuka hati, melainkan hendaknya mengikuti irama yang sudah disusun oleh komposer-komposer dan penulis-penulis lagu Gereja. Apalagi ketika menyanyikan koor bersama paduan suara, sebisa mungkin kita membawakannya dengan baik dan indah, sehingga jiwa kita turut mempersembahkan nyanyian pujian itu bagi Tuhan.

Saya suka menyanyi, walaupun dengan suara yang pas-pasan namun saya selalu berusaha sebisa mungkin untuk menyanyikan lagu-lagu pujian dengan baik dan benar. Beberapa kali juga saya melihat ada teks koor yang sudah usang dari persekutuan koor kaum ibu di Gereja, lalu saya pinjam untuk saya ketik ulang. Tujuannya, supaya lagu itu bisa dinyanyikan dengan baik dan benar serta indah. Awalnya saya kesulitan mengetiknya di Office Word karena beberapa karakter di teks koor ada yang tidak tersedia di Office Word. Lalu saya search di internet siapa tahu ada solusi untuk hal ini, dan akhirnya saya menemukan Font NotAngka2. Aplikasi buatan pak Joas Adiprasetya ini sangat menolong saya, dan mungkin juga teman-teman :)

Nah, buat teman-teman yang punya teks koor yang sudah tua dan kertasnya usang, sehingga sulit membacanya dan ingin mengetik ulang, silakan download Font NotAngka2 ini. Tidak sulit untuk memakainya, tinggal disalin dan tempelkan di drive C - Windows - Fonts dan font akan terpasang dan muncul otomatis di halaman word kita. Ini linknya: download. Teman-teman akan dihantarkan ke halaman di mana Font NotAngka2 bisa diambil. Atau, dengan mengandalkan prinsip LOL (labor of love) saya memberanikan mengunggahnya sendiri dan bisa didapatkan di sini. Selamat mencoba. Salam :)

15 Nov 2012

Hijrah dan Metanoia: energi untuk transformasi sosial

Hijrah dan Metanoia: energi untuk transformasi sosial

Dari sebuah artikel di kompasiana.com yang ditulis oleh seorang kompasianer, Sri Endang Susetiawati, saya membaca kisah hijrahnya Muhammad SAW.1 Dikatakan di sana, peristiwa hijrah (yang kemudian diingat dan disebut dengan peristiwa Hijriah) merupakan proses berpindahnya Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Perpindahan itu digambarkan oleh penulis dengan mengatakan, "Pada awal-awal kelahirannya, ajaran Islam memang merupakan ajaran konkret yang dinamis atas sebuah gagasan mengenai sistem masyarakat baru yang adil dan beradab."

'Sistem masyarakat yang baru' tentu berarti adanya perubahan bentuk (sistem nilai, kultur, ideologi dsb.) dari bentuk yang lama yang dianut. Dari penjelasan penulis di halaman komentar, bahwa spirit hijrah termasuk juga dalam hal perubahan sosial. Terang sekali, misi Hijrah adalah perubahan tata kehidupan yang diharapkan menjadi lebih baik dibandingkan dengan bentuk sebelumnya.

Ada komentar yang memperluas makna hijrah, demikian di antaranya:2

Putu Suardana | 15 November 2012 | 07:52:15
Selamat! Mbak Sri,
saya kira pengertian/makna Hijrah lebih lebih luas dari yang saya bayangkan dan memberikan kesadaran ummat dalam kontak sosial lebih baik untuk membangun peradaban yang lebih baik, menghindari benturan antar ummat sebangsa senasib dalam berbangsa dan bernegara

reply

Sri Endang Susetiawati | 15 November 2012 | 08:21:45
Betul. Ada persamaan (irisan) prjuangan nilai2 universal antar berbagai umat beragama, antar sesama warga sebangsa, antar ssama umat manusia, untuk slg menghargai, hdp rukun, damai dan sejahtera.

Terima kasih Pak Putu.
Salam persahabatan

reply

Deqz | 15 November 2012 | 08:14:06
Hijrah –> Mutasi secara totalitas dengan cara yang baik; perilaku, tutur kata, sistem, bahkan tempat, jika itu memang menjadi solusi yang baik untuk peradaban yang menjunjung tinggi toleransi dan perdamaian antar sesama makhluk Tuhan

. . .

Artinya, hijrah merupakan sebuah proses perubahan, yang barangkali bisa dipahami juga dengan kaitannya dengan rites de passage (istilah yang diajarkan oleh dosen mata kuliah Agama Islam dulu :)). Rites de passage contohnya yaitu proses perubahan dari muslim biasa menjadi seorang muslim yang sudah menunaikan rukun kelima, menjadi seorang Haji.

Perubahan itu membenangmerahi suatu kondisi empiris dengan kepribadian manusia-manusianya. Mau tidak mau suatu perubahan (tata kehidupan) berkaitan dengan perubahan integritas manusianya. Situasi kehidupan tidak akan berubah jika manusia sebagai oknum 'penggeraknya' tidak melakukan perubahan yang relevan di dalam dirinya sendiri. Ibarat gelas yang tidak akan berisi jika manusianya tidak merasa haus dan mengisi gelasnya agar ia dapat minum dari situ.

Sebuah keputusan untuk berubah (tentang eksistensi suatu kultur maupun personalitas) dapat juga disebut dengan hijrah. Seperti yang dikutip oleh Heri Supriyanto yang mengulas sekilas pandangan Dr. Quraish Shihab,3 konsep hijrah itu mencakup aspek fisik dan non-fisik. Secara fisik tentu saja perpindahan Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, dan secara non-fisik maksudnya semangat transformasi sosial di tempat baru. Semangat itu ingin meninggalkan tempat lama yang jahat dan ingin membangun yang baik di tempat yang baru. Dari jahat (jahiliyah) menjadi baik (saya tidak tahu antonim dari jahiliyah dalam bahasa Arab :)).

Dalam kekristenan, wacana perubahan yang dijelaskan di atas bisa dikaitkan secara langsung dengan metanoia. Metanoia sebagai term iman memiliki makna yaitu 'berbalik arah' sama sekali, meninggalkan sama sekali cara hidup yang lama. Inilah yang disebut dengan pertobatan. Jika hijrah menurut Heri Supriyanto mencakup fisik dan non-fisik, maka metanoia benar-benar suatu keputusan untuk mengubah diri sendiri demi menyadari keberdosaannya.

Semangat metanoia ini biasanya muncul secara lebih besar di Masa Paskah dalam Tahun Liturgi Gerejawi. Dengan mengenang penderitaan Kristus maka orang-orang yang mengimani dan mangamininya akan merasa hatinya tersayat karena telah menyia-nyiakan dan tidak menghargai serta menghormati pengorbanan di salib itu. Spiritualitas Masa Paskah sangat menolong umat Kristen untuk menghayati kembali pengorbanan Kristus dan menyadari kealpaannya dalam menjalankan panggilan iman. Itulah di dalam kekristenan, sehingga peristiwa itu menggiring lagi orang ke sebuah pertobatan (metanoia/hijrah).

Lalu menurut saya, hijrah (dalam arti non-fisik) dan metanoia adalah dua kata yang memiliki semangat yang sama bagi penganutnya. Semangat itu mengantar umat kepada sebuah pertobatan, semangat untuk hijrah (berpindah) dari keadaan diri yang alpa terhadap perintah Yang Mahakuasa lalu menjadi umat yang taat. Umat yang bekerja keras untuk membangun suatu peradaban sosial yang baik, tak menciptakan benturan-benturan yang menyia-nyiakan energi, mutasi secara total dalam prilaku.

Sehingga saya ingin juga mengatakan, bagaimanapun interpretasi terhadap dua kata ini, hijrah/hijriah dan metanoia, tidak perlu dicari-cari celahnya untuk menemukan peluang untuk saling menyerang. Seperti yang dapat disaksikan dimana-mana, banyak pandangan kepercayaan antar-agama ditabrakkan dengan emosional, sehingga menyulut pertengkaran yang sia-sia. Namun kiranya "hijrah" dan "metanoia" menjadi sumber energi bagi umat manusia demi perubahan sosial yang kita harapkan, penuh kedamaian dan ketenteraman. Kiranya ini bukan semata-mata ekspektasi yang utopis. Selamat menyelami semangat "hijrah" dan "metanoia" bagi kita semua.

Dan terkhusus bagi teman-teman yang beragama Islam:
Selamat Tahun Baru Islam 1434 H.


1 http://m.kompasiana.com/post/sejarah/2012/11/15/hijrah-itu-perjuangan-revolusioner/
2 http://m.kompasiana.com/comments/50a434cac34872067100d579
3 http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2012/11/15/mari-hijrah-menuju-peradaban-madani/
Sent from my Nokia phone

12 Nov 2012

Merayakan Natal di masa Advent


Sepertinya merayakan Natal saat ini dipahami sudah bisa dilakukan sejak memasuki bulan Desember. Sebab tradisi Gereja menetapkan tanggal kelahiran Tuhan Yesus yaitu 25 Desember, entah bagaimana caranya nama bulannya yang akhirnya lebih diperhatikan, tanggalnya tidak.

Barangkali ini bermula dari semangat iman saudara-saudara yang ada di daerah perantauan. Mereka bersekutu dan merayakan ibadah bersama-sama. Ada banyak perkumpulan yang diikatkan secara langsung maupun tidak langsung dengan persekutuan gerejawi, seperti perkumpulan marga, perkumpulan anak-anak sekolah maupun kuliah, perantau yang berasal dari daerah asal yang sama, dan ditambah dari perkumpulan kategorial di Gereja sendiri. Jadi ketika liburan akhir tahun segera tiba, maka semangat persekutuan itu membicarakan juga perayaan Natal. Nah, kerinduan sebenarnya adalah merayakan Natal di kampung tepat di tanggal 25 Desember (mungkin juga dimulai pada tanggal 24 Desember malam). Namun, ada juga keinginan untuk merayakan Natal bersama dengan perkumpulan yang diikuti, sebelum pulang kampung tentunya.

Dibentuklah panitianya yang akan mengatur tata cara pelaksanaan perayaan tersebut. Menyusun liturgi, ayat-ayat bacaan (ayat pajojorhon), menyusun acara hiburan, mengontak pengkhotbah, gedung tempat pelaksaan, aparat setempat, dan lain-lain. Dan Natal dirayakan dengan meriah.

Tapi sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa minggu-minggu sebelum Natal dalam Tahun Liturgi (Gerejawi) disebut dengan masa Advent. Masa Advent merepresentasikan kehidupan umat Kristen dalam masa penantian akan kedatangan Kristus yang kedua kali sepanjang hidupnya, atau sepanjang sejarah orang-orang percaya. Ini disebut juga dengan parousia (datang; hadir). Dalam masa parousia umat Kristen menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali dengan bertekun dalam panggilan iman dan pengharapannya.

Karena itu, masa Advent memiliki paling tidak dua makna: satu, sebagai representasi hakikat hidup umat Kristen yang menantikan kedatangan Tuhan Yesus kedua kali; dan dua, penantian akan peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Peringatan akan kelahiran Tuhan Yesus yang telah terjadi tentulah suatu peristiwa yang penuh sukacita, dan sepatutnya dirayakan dengan sukacita. Namun penantian akan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali yang belum terjadi tentu diisi dengan pengharapan penuh. Itulah sebabnya kita berdoa “Maranata: Tuhan, datanglah.” Minggu-minggu Advent dijalani dengan keheningan. Kita merenungkan dalam masa itu, apakah diri kita sudah layak untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Sudah bagaimana keadaan diri kita, iman kita, seluruh hidup kita, apa yang sudah kita perbuahkan dalam: pikiran, perkataan dan perbuatan? Kasih kepada sesama? Dalam mengisi masa itu orang Kristen bertekun dalam doa dan bersungguh-sungguh mengerjakan panggilannya, memperhatikan sesama dan mengupayakan damai sejahtera. Itu adalah bagian dari kesiap sediaan menyambut kedatangan Tuhan.

Nah, sekarang bagaimana dengan perayaan Natal dalam masa Advent? Apakah masa keheningan itu hanya tinggal sebagai simbol yang tidak perlu dihidupi dengan sungguh-sungguh? Sehingga pada masa itu kita bisa bergembira ria, di saat kita harus merenungkan keadaan diri yang senantiasa berdekatan dengan yang namanya dosa? Bahkan menampilkan drama kelahiran Tuhan seolah-olah sudah genap waktunya (tanggalnya) Dia lahir. Bernyanyi Malam Kudus, seolah-olah kita sedang mengikuti detik demi detik kelahiran Tuhan di kandang domba.

Lalu bagaimana? Ya, seharusnya tidak ada perayaan Natal dalam Masa Advent, selain daripada perenungan-perenungan pribadi maupun kelompok dalam menyambut kedatangan Tuhan. Tapi ada kerinduan dalam perkumpulan-perkumpulan yang ada untuk merayakan kelahiran Tuhan bersama-sama sebelum pulang ke kampung masing-masing. Mungkin, dapat saja diadakan sebuah perayaan namun bukan perayaan kelahiran, melainkan perayaan Advent. Demi kerinduan itu, bisa saja dibacakan lagi ayat-ayat Liturgi tentang Penciptaan, Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa, Nubuat Nabi-nabi, dan berita Kelahiran. Tapi penting dicatat, liturgi berita kelahiran tidak membacakan Tuhan yang telah lahir, melainkan sesaat sebelum Ia lahir. Bisa dengan cerita mimpi Yusuf dijumpai Malaikat Tuhan, tentang Imanuel (Mat. 1:23); atau perjumpaan Gabriel dengan Maria, perjumpaan Elisabet dengan Maria dan atau nyanyian pujian Maria sendiri (Luk. 1:26 ff). Begitu juga dengan berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis.

Sehingga ayat-ayat Liturgi di perayaan itu menyisakan cerita yang paling ditunggu, yang akan diberitakan pada tanggal 25 Desember, yaitu Yesus Kristus yang lahir di kandang domba. Hadirnya Dia di tengah-tengah dunia maka orang percaya berkata, “Imanuel: Allah menyertai kita.” Dengan kehadiran Tuhan Yesus maka Allah benar-benar hadir dan berada di tengah-tengah umat manusia.

Ya, itulah sedikit pandangan saya tentang perayaan Natal pada masa Advent dan sedikit usulan cara merayakannya pada masa itu. Mungkin banyak pandangan yang berbeda, dan banyak pula cara yang ditawarkan, namun dugaan saya sudah begitu sulit untuk mengembalikan perayaan Natal pada masa Natal sendiri (25 Desember – 5 Januari). Tapi apa yang sulit bukan apa yang tak bisa dilakukan, bukan?

10 Nov 2012

bacaan bagus

http://rumametmet.com/2011/12/19/kudus-sampai-kedatangan-kristus/

Kudus Sampai Kedatangan Kristus

December 19, 2011
By 
Almanak Senin 19 Desember 2011:
Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya, dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita. (1 Tesalonika 5:23)
Perayaan Natal sudah sangat dekat. Tak sampai sepekan lagi. Bagi jemaat yang setia dan tekun menjalani kalender gerejawi beradven – dan tidak buru-buru merayakan Natal sebelum waktunya – tentu kerinduan bernatal sudah hampir tidak tertahan lagi. Natal belum tiba namun sukacita umat yang menanti sudah meluap. Disinil kita diingatkan agar tetap sabar dan bertekun. dan menyempurnakan persiapan hati kita menyambut pesta agung kedatangan Juruselamat ini. Hanya ada satu cara yang paling pantas menyambut perayaan kelahiran Kristus, yaitu: bertobat. Maksudnya: meninggalkan kebiasaan buruk dan jahat, mengubah hati agar sesuai dengan kasih dan kebenaran Tuhan. Baiklah kita tetap berdoa semoga di hari Natal ini hati dan tubuh kita tetap kudus serta tulus.
Apa yang kita lakukan menjelang perayaan Natal adalah gambaran dari apa yang seharusnya kita lakukan menyambut kedatangan Kristus kembali. Jika menjelang perayaan Natal saja jemaat diminta untuk berdoa dan bertekun agar bertobat, apalagi menyambut kedatangan kembali Kristus di hari yang agung. Itulah sebabnya Rasul Paulus berdoa memohonkan agar Allah menguduskan kita dan memelihara tubuh, jiwa dan roh kita sampai kedatanganNya. Dengan kata lain: jika kita telah sungguh-sungguh mempersiapkan hati kita menyambut natal, maka kita harus lebih sungguh-sungguh lagi mempersiapkan diri menyambut kedatanganNya kembali menggenapi seluruh keselamatan yang telah dikerjakanNya. Bagaimana? Dengan tetap menjaga kekudusan kita. Yaitu: mengkhususkan tubuh, jiwa dan roh kita hanya untuk memuliakanNya. Membuat diri kita tetap spesial bagi persembahan untukNya. Dan untuk itu kita memerlukan pertolongan Allah.
Doa:
Ya Allah, kuduskanlah kami menyambut perayaan natal PutraMu. Namun lebih dari itu, kuduskanlah kami menyambut kedatanganNya kembali di hari yang agung. Arahkanlah hati dan pikiran kami kepada Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami, yang berjanji akan datang lagi ke dunia sebagai Hakim Agung. Menantikan saat kedatanganMu kelak, ya Tuhan, biarlah kami jemaatMu tetap sadar dan waspada, baik dan setia. AMIN.
Pdt Daniel T.A. Harahap
http://rumametmet.com