12 Nov 2012

Merayakan Natal di masa Advent


Sepertinya merayakan Natal saat ini dipahami sudah bisa dilakukan sejak memasuki bulan Desember. Sebab tradisi Gereja menetapkan tanggal kelahiran Tuhan Yesus yaitu 25 Desember, entah bagaimana caranya nama bulannya yang akhirnya lebih diperhatikan, tanggalnya tidak.

Barangkali ini bermula dari semangat iman saudara-saudara yang ada di daerah perantauan. Mereka bersekutu dan merayakan ibadah bersama-sama. Ada banyak perkumpulan yang diikatkan secara langsung maupun tidak langsung dengan persekutuan gerejawi, seperti perkumpulan marga, perkumpulan anak-anak sekolah maupun kuliah, perantau yang berasal dari daerah asal yang sama, dan ditambah dari perkumpulan kategorial di Gereja sendiri. Jadi ketika liburan akhir tahun segera tiba, maka semangat persekutuan itu membicarakan juga perayaan Natal. Nah, kerinduan sebenarnya adalah merayakan Natal di kampung tepat di tanggal 25 Desember (mungkin juga dimulai pada tanggal 24 Desember malam). Namun, ada juga keinginan untuk merayakan Natal bersama dengan perkumpulan yang diikuti, sebelum pulang kampung tentunya.

Dibentuklah panitianya yang akan mengatur tata cara pelaksanaan perayaan tersebut. Menyusun liturgi, ayat-ayat bacaan (ayat pajojorhon), menyusun acara hiburan, mengontak pengkhotbah, gedung tempat pelaksaan, aparat setempat, dan lain-lain. Dan Natal dirayakan dengan meriah.

Tapi sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah, bahwa minggu-minggu sebelum Natal dalam Tahun Liturgi (Gerejawi) disebut dengan masa Advent. Masa Advent merepresentasikan kehidupan umat Kristen dalam masa penantian akan kedatangan Kristus yang kedua kali sepanjang hidupnya, atau sepanjang sejarah orang-orang percaya. Ini disebut juga dengan parousia (datang; hadir). Dalam masa parousia umat Kristen menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali dengan bertekun dalam panggilan iman dan pengharapannya.

Karena itu, masa Advent memiliki paling tidak dua makna: satu, sebagai representasi hakikat hidup umat Kristen yang menantikan kedatangan Tuhan Yesus kedua kali; dan dua, penantian akan peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Peringatan akan kelahiran Tuhan Yesus yang telah terjadi tentulah suatu peristiwa yang penuh sukacita, dan sepatutnya dirayakan dengan sukacita. Namun penantian akan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali yang belum terjadi tentu diisi dengan pengharapan penuh. Itulah sebabnya kita berdoa “Maranata: Tuhan, datanglah.” Minggu-minggu Advent dijalani dengan keheningan. Kita merenungkan dalam masa itu, apakah diri kita sudah layak untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Sudah bagaimana keadaan diri kita, iman kita, seluruh hidup kita, apa yang sudah kita perbuahkan dalam: pikiran, perkataan dan perbuatan? Kasih kepada sesama? Dalam mengisi masa itu orang Kristen bertekun dalam doa dan bersungguh-sungguh mengerjakan panggilannya, memperhatikan sesama dan mengupayakan damai sejahtera. Itu adalah bagian dari kesiap sediaan menyambut kedatangan Tuhan.

Nah, sekarang bagaimana dengan perayaan Natal dalam masa Advent? Apakah masa keheningan itu hanya tinggal sebagai simbol yang tidak perlu dihidupi dengan sungguh-sungguh? Sehingga pada masa itu kita bisa bergembira ria, di saat kita harus merenungkan keadaan diri yang senantiasa berdekatan dengan yang namanya dosa? Bahkan menampilkan drama kelahiran Tuhan seolah-olah sudah genap waktunya (tanggalnya) Dia lahir. Bernyanyi Malam Kudus, seolah-olah kita sedang mengikuti detik demi detik kelahiran Tuhan di kandang domba.

Lalu bagaimana? Ya, seharusnya tidak ada perayaan Natal dalam Masa Advent, selain daripada perenungan-perenungan pribadi maupun kelompok dalam menyambut kedatangan Tuhan. Tapi ada kerinduan dalam perkumpulan-perkumpulan yang ada untuk merayakan kelahiran Tuhan bersama-sama sebelum pulang ke kampung masing-masing. Mungkin, dapat saja diadakan sebuah perayaan namun bukan perayaan kelahiran, melainkan perayaan Advent. Demi kerinduan itu, bisa saja dibacakan lagi ayat-ayat Liturgi tentang Penciptaan, Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa, Nubuat Nabi-nabi, dan berita Kelahiran. Tapi penting dicatat, liturgi berita kelahiran tidak membacakan Tuhan yang telah lahir, melainkan sesaat sebelum Ia lahir. Bisa dengan cerita mimpi Yusuf dijumpai Malaikat Tuhan, tentang Imanuel (Mat. 1:23); atau perjumpaan Gabriel dengan Maria, perjumpaan Elisabet dengan Maria dan atau nyanyian pujian Maria sendiri (Luk. 1:26 ff). Begitu juga dengan berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis.

Sehingga ayat-ayat Liturgi di perayaan itu menyisakan cerita yang paling ditunggu, yang akan diberitakan pada tanggal 25 Desember, yaitu Yesus Kristus yang lahir di kandang domba. Hadirnya Dia di tengah-tengah dunia maka orang percaya berkata, “Imanuel: Allah menyertai kita.” Dengan kehadiran Tuhan Yesus maka Allah benar-benar hadir dan berada di tengah-tengah umat manusia.

Ya, itulah sedikit pandangan saya tentang perayaan Natal pada masa Advent dan sedikit usulan cara merayakannya pada masa itu. Mungkin banyak pandangan yang berbeda, dan banyak pula cara yang ditawarkan, namun dugaan saya sudah begitu sulit untuk mengembalikan perayaan Natal pada masa Natal sendiri (25 Desember – 5 Januari). Tapi apa yang sulit bukan apa yang tak bisa dilakukan, bukan?

6 komentar:

  1. Mantapanggia, lanjutkan terus.

    BalasHapus
  2. terimakasih, bang, semoga bisa dikembalikan secepatnya

    BalasHapus
  3. Dari segi penjabaran a.k.a penyampaian ide sudah cukup baik dan bisa dimengerti, susunan paragraf (opening, content, closing) terstruktur dengan apik, tata bahasa juga sudah mendekati EYD. Kalaupun harus ada yang dikomentari, menurut saya: penulisan "kesiap sediaan" yang benar adalah "kesiapsediaan" dimana imbuhan ke-an menyebabkan penggabungan dua kata. Contoh: pertanggungjawaban.

    Sekian dan terima kasih.

    BalasHapus
  4. Trims buat kritik informatorisnya. Btw ada ngikutin Natal di Medan sebelum pulang?

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Trims, bro, semoga isinya lebih menarik :)
      Bagi2 ilmunya nanti ya

      Hapus

Apa yang kita tulis merupakan apa yang kita katakan. Apa yang kita katakan keluar dari hati. Silakan berkata-kata dengan hati, sopan dan santun.