Sepertinya merayakan
Natal saat ini dipahami sudah bisa dilakukan sejak memasuki bulan Desember.
Sebab tradisi Gereja menetapkan tanggal kelahiran Tuhan Yesus yaitu 25
Desember, entah bagaimana caranya nama bulannya yang akhirnya lebih
diperhatikan, tanggalnya tidak.
Barangkali ini bermula
dari semangat iman saudara-saudara yang ada di daerah perantauan. Mereka
bersekutu dan merayakan ibadah bersama-sama. Ada banyak perkumpulan yang
diikatkan secara langsung maupun tidak langsung dengan persekutuan gerejawi,
seperti perkumpulan marga, perkumpulan anak-anak sekolah maupun kuliah,
perantau yang berasal dari daerah asal yang sama, dan ditambah dari perkumpulan
kategorial di Gereja sendiri. Jadi ketika liburan akhir tahun segera tiba, maka
semangat persekutuan itu membicarakan juga perayaan Natal. Nah, kerinduan
sebenarnya adalah merayakan Natal di kampung tepat di tanggal 25 Desember
(mungkin juga dimulai pada tanggal 24 Desember malam). Namun, ada juga
keinginan untuk merayakan Natal bersama dengan perkumpulan yang diikuti, sebelum
pulang kampung tentunya.
Dibentuklah panitianya
yang akan mengatur tata cara pelaksanaan perayaan tersebut. Menyusun liturgi,
ayat-ayat bacaan (ayat pajojorhon),
menyusun acara hiburan, mengontak pengkhotbah, gedung tempat pelaksaan, aparat
setempat, dan lain-lain. Dan Natal dirayakan dengan meriah.
Tapi sebenarnya yang
perlu diperhatikan adalah, bahwa minggu-minggu sebelum Natal dalam Tahun
Liturgi (Gerejawi) disebut dengan masa Advent. Masa Advent merepresentasikan kehidupan
umat Kristen dalam masa penantian akan kedatangan Kristus yang kedua kali
sepanjang hidupnya, atau sepanjang sejarah orang-orang percaya. Ini disebut
juga dengan parousia (datang; hadir).
Dalam masa parousia umat Kristen menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali
dengan bertekun dalam panggilan iman dan pengharapannya.
Karena itu, masa Advent memiliki
paling tidak dua makna: satu, sebagai representasi hakikat hidup umat Kristen
yang menantikan kedatangan Tuhan Yesus kedua kali; dan dua, penantian akan
peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Peringatan akan kelahiran Tuhan Yesus yang
telah terjadi tentulah suatu peristiwa yang penuh sukacita, dan sepatutnya
dirayakan dengan sukacita. Namun penantian akan kedatangan Tuhan Yesus yang
kedua kali yang belum terjadi tentu diisi dengan pengharapan penuh. Itulah
sebabnya kita berdoa “Maranata: Tuhan, datanglah.” Minggu-minggu Advent
dijalani dengan keheningan. Kita merenungkan dalam masa itu, apakah diri kita
sudah layak untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya. Sudah
bagaimana keadaan diri kita, iman kita, seluruh hidup kita, apa yang sudah kita
perbuahkan dalam: pikiran, perkataan dan perbuatan? Kasih kepada sesama? Dalam
mengisi masa itu orang Kristen bertekun dalam doa dan bersungguh-sungguh
mengerjakan panggilannya, memperhatikan sesama dan mengupayakan damai
sejahtera. Itu adalah bagian dari kesiap sediaan menyambut kedatangan Tuhan.
Nah, sekarang bagaimana
dengan perayaan Natal dalam masa Advent? Apakah masa keheningan itu hanya
tinggal sebagai simbol yang tidak perlu dihidupi dengan sungguh-sungguh?
Sehingga pada masa itu kita bisa bergembira ria, di saat kita harus merenungkan
keadaan diri yang senantiasa berdekatan dengan yang namanya dosa? Bahkan
menampilkan drama kelahiran Tuhan seolah-olah sudah genap waktunya (tanggalnya)
Dia lahir. Bernyanyi Malam Kudus, seolah-olah kita sedang mengikuti detik demi detik
kelahiran Tuhan di kandang domba.
Lalu bagaimana? Ya,
seharusnya tidak ada perayaan Natal dalam Masa Advent, selain daripada
perenungan-perenungan pribadi maupun kelompok dalam menyambut kedatangan Tuhan.
Tapi ada kerinduan dalam perkumpulan-perkumpulan yang ada untuk merayakan
kelahiran Tuhan bersama-sama sebelum pulang ke kampung masing-masing. Mungkin,
dapat saja diadakan sebuah perayaan namun bukan perayaan kelahiran, melainkan
perayaan Advent. Demi kerinduan itu, bisa saja dibacakan lagi ayat-ayat Liturgi
tentang Penciptaan, Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa, Nubuat Nabi-nabi, dan
berita Kelahiran. Tapi penting dicatat, liturgi berita kelahiran tidak
membacakan Tuhan yang telah lahir, melainkan sesaat sebelum Ia lahir. Bisa
dengan cerita mimpi Yusuf dijumpai Malaikat Tuhan, tentang Imanuel (Mat. 1:23);
atau perjumpaan Gabriel dengan Maria, perjumpaan Elisabet dengan Maria dan atau
nyanyian pujian Maria sendiri (Luk. 1:26 ff).
Begitu juga dengan berita yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis.
Sehingga ayat-ayat
Liturgi di perayaan itu menyisakan cerita yang paling ditunggu, yang akan
diberitakan pada tanggal 25 Desember, yaitu Yesus Kristus yang lahir di kandang
domba. Hadirnya Dia di tengah-tengah dunia maka orang percaya berkata, “Imanuel:
Allah menyertai kita.” Dengan kehadiran Tuhan Yesus maka Allah benar-benar
hadir dan berada di tengah-tengah umat manusia.
Ya, itulah sedikit
pandangan saya tentang perayaan Natal pada masa Advent dan sedikit usulan cara
merayakannya pada masa itu. Mungkin banyak pandangan yang berbeda, dan banyak pula
cara yang ditawarkan, namun dugaan saya sudah begitu sulit untuk mengembalikan
perayaan Natal pada masa Natal sendiri (25 Desember – 5 Januari). Tapi apa yang
sulit bukan apa yang tak bisa dilakukan, bukan?
Mantapanggia, lanjutkan terus.
BalasHapusterimakasih, bang, semoga bisa dikembalikan secepatnya
BalasHapusDari segi penjabaran a.k.a penyampaian ide sudah cukup baik dan bisa dimengerti, susunan paragraf (opening, content, closing) terstruktur dengan apik, tata bahasa juga sudah mendekati EYD. Kalaupun harus ada yang dikomentari, menurut saya: penulisan "kesiap sediaan" yang benar adalah "kesiapsediaan" dimana imbuhan ke-an menyebabkan penggabungan dua kata. Contoh: pertanggungjawaban.
BalasHapusSekian dan terima kasih.
Trims buat kritik informatorisnya. Btw ada ngikutin Natal di Medan sebelum pulang?
BalasHapusKeep posting bro. :)
BalasHapusMantap!
Trims, bro, semoga isinya lebih menarik :)
HapusBagi2 ilmunya nanti ya