Dahulu kala, lebih dari 1700 tahun silam, seorang pemuda
memutuskan untuk menjadi orang kudus. Ia meninggalkan rumahnya, keluarganya,
dan segala harta miliknya. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada sanak keluarga
dan teman-temannya, menjual segala miliknya dan memberikan uang itu kepada orang-orang miskin, dan menuju padang gurun untuk menemukan Allah.
Ia menyusuri hamparan padang gurun hingga menemukan sebuah gua
yang gelap. “Di sini,” pikirnya, “saya akan menyendiri bersama Allah. Di sini
tidak ada sesuatupun yang dapat memisahkan saya dari Allah.”
Ia berdoa siang dan malam dalam gua yang gelap itu. Tetapi Allah
mengiriminya godaan-godaan besar. Ia membayangkan semua hal-hal yang bagus
dalam hidup dan ia benar-benar menginginkannya. Bagaimanapun, ia telah bertekad
untuk melepaskan segala sesuatu agar dapat memiliki Allah, sebagai satu-satunya.
St. Antonius dari Mesir berada dalam damai dan yang dimilikinya hanyalah Allah.
Tetapi kemudian, menurut legenda, Allah berkata, “Tinggalkanlah
guamu untuk beberapa hari dan pergilah ke sebuah kota yang jauh letaknya. Carilah
tukang sepatu di kota itu. Ketuklah pintunya dan tinggallah bersama dia
beberapa saat.”
Petapa suci itu merasa bingung oleh perintah Allah ini. Tetapi pada
pagi berikutnya, ia berangkat. Ia berjalan sehari penuh melintasi padang pasir.
Ketika hari mulai malam, ia tiba di kota itu mendapati rumah tukang sepatu dan
mengetuk pintunya. Seorang pria penuh senyum membukanya.
“Engkaukah tukang sepatu kota ini?” tanya petapa itu.
“Benar,” jawab tukang sepatu. Ia memperhatikan betapa lelah dan
lapar tampaknya sang petapa. “Masuklah,” katanya. “Anda membutuhkan sesuatu
untuk dimakan dan tempat untuk beristirahat.”
Tukang sepatu itu memanggil istrinya. Mereka menyediakannya
hidangan yang lezat dan tempat tidur yang nyaman.
Petapa itu tinggal bersama keluarga tukang sepatu selama tiga hari
tiga malam. Petapa mengajukan banyak pertanyaan tentang kehidupan mereka. Tetapi
ia tidak mengungkapkan banyak hal tentang dirinya, walaupun demikian pasangan
itu sangat ingin tahu tentang kehidupannya di padang gurun. Mereka banyak
bercerita tentang dan menjadi teman akrab.
Kemudian sang petapa berpamit kepada tukang sepatu dan istrinya. Ia
berjalan kembali ke gua sambil bertanya-tanya dalam hati mengapa Allah
menyuruhnya mengunjungi tukang sepatu.
“Bagaimana sikap tukang sepatu itu?” Allah bertanya kepadanya
setelah ia kembali di dalam gua yang gelap.
“Ia seorang pria yang sederhana,” tuturnya. “Ia mempunyai seorang
istri yang akan segera melahirkan seorang anak lagi. Mereka tampaknya sangat
mencintai satu sama lain. Ia mempunyai sebuah perusahaan kecil tempat ia
membuat sepatu-sepatunya. Ia bekerja keras. Mereka mempunyai sebuah rumah yang
sederhana. Mereka memberi uang dan makanan kepada orang-orang yang nasibnya
kurang beruntung daripada mereka. Ia dan istrinya beriman teguh kepadaMu dan
mereka berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari. Mereka mempunyai banyak sahabat.
Dan tukang sepatu itu gemar mengisahkan cerita jenaka.”
Allah mendengar dengan penuh perhatian. “Engkau seorang saleh yang
sejati, Antonius,” kata Tuhan, “dan tukang sepatu bersama istrinya adalah juga
orang-orang saleh yang sejati.”
- Brian
Cavanaugh -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang kita tulis merupakan apa yang kita katakan. Apa yang kita katakan keluar dari hati. Silakan berkata-kata dengan hati, sopan dan santun.