Ada sebuah cerita menarik pada saat penyaliban Yesus
Kristus. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa orang-orang Yahudi pada saat
itulah sebenarnya yang menyalibkan Yesus Kristus, walaupun yang melaksanakannya
prajurit Romawi. Dari Injil dapat didaftarkan beberapa tuduhan kepada Yesus,
yaitu Yesus dikatakan menyesatkan banyak orang dengan ajaranNya, Yesus
menghujat Allah dengan mengakui bahwa Dia adalah Anak Allah, Yesus mengaku
bahwa Dia adalah raja orang Yahudi, dan masih ada beberapa tuduhan lain.
Pengakuan diriNya sebagai Anak Allah dan sebagai
raja sebenarnya bukanlah berasal dari inisiatif Yesus sendiri untuk
menyatakannya. Pengakuan itu keluar sebagai jawaban, di mana orang Yahudi
sendiri atau Pontius Pilatus yang menanyakannya lebih dulu. “Apakah Engkau Anak
Allah?” “Apakah Engkau raja orang Yahudi?” Lalu keluarlah jawaban yang
menyatakan bahwa diriNya menyetujui apa yang dipertanyakan itu.
Pengakuan Yesus dalam jawabannya bahwa Dia adalah
raja orang Yahudi, tentulah orang Yahudi tidak dapat menerima jawaban itu. Namun
jawaban itu dipakai sebagai jebakan. Mereka meneguhkan Pilatus ketika gubernur
di Yudea itu (tahun 26-36 M) ragu karena tidak mendapati kesalahan pada diri
Yesus Kristus. Orang Yahudi mengatakan bahwa orang yang membela seseorang yang
mengaku sebagai raja bukanlah sahabat kaisar (Romawi, pada saat itu kaisar
Tiberius; Yoh. 19:12). Tidak bersahabat dengan kaisar tentulah tidak pernah
diimpikan oleh seorang Pilatus. Akhirnya ia kalah dengan tuntutan massa dan
memerintahkan untuk menyalibkan Yesus.
Lalu di sinilah menariknya. Orang Yahudi memakai
pengakuan Yesus sebagai raja mereka hanya untuk memastikan Pilatus menjatuhkan
hukuman. Namun sebenarnya bukan hal itu yang membuat mereka memaksa Pilatus
untuk menjatuhkan hukuman salib. Disalibkan adalah hukuman yang terburuk dan
hina dalam tradisi orang Yahudi. Orang yang disalibkan tidak menjejak tanah dan
tidak juga berada di langit, melainkan tergantung di antara keduanya. Dengan kata
lain, langit dan bumipun mereka buat untuk tidak menerima orang yang disalibkan
tersebut. Karena itu, kesalahan yang mengantarkan orang menerima hukuman salib
tentulah kesalahan yang sangat fatal dan tak terampuni, yaitu menghujat Allah
(dalam hal ini karena Yesus mengakui diriNya sebagai Anak Allah).
Ketika Yesus disalibkan, prajurit Romawi meletakkan
tulisan INRI, singkatan dari Iesus
Nazarenus Rex Iudaeorum di bagian atas salib tersebut. INRI, artinya “Yesus,
orang Nazaret, Raja orang Yahudi,” dan orang Yahudi tidak memrotes tulisan
tersebut. Ini disebabkan oleh paling tidak dua hal, pertama bahwa memang bukan
itu kesalahan utama Yesus bagi orang Yahudi, melainkan karena pengakuanNya
sebagai Mesias, seperti diterangkan di atas. Yang kedua, orang Yahudi
membiarkan tulisan tersebut tetap tinggal di salib itu dengan Yesus tergantung
di sana, untuk mengejek Dia. Barangkali kita bisa menyebutnya dalam istilah
sastra Bahasa Indonesia sebagai majas ironi, pujian yang dilontarkan namun
dengan maksud untuk menyindir. Sama seperti ketika Yesus diludahi dan dipukuli setelah
mengakui bahwa Dia adalah Mesias. Setelah diludahi dan dipukuli, orang Yahudi bertanya
kepadaNya: “Cobalah katakan kepada kami, hai Mesias, siapakah yang memukul
Engkau?” (Mat. 26:68). Mereka menyebutnya Mesias, yaitu manusia yang mereka nanti-nantikan
selama berabad-abad (bahkan sampai saat ini), tapi meludahi dan memukuliNya.
Kalimat yang bersifat majas ironi, pujian yang
dimaksudkan untuk menyindir, memang cenderung manjur untuk mendorong orang berbuat
lebih baik. Misalnya seorang kepala negara yang dipuji oleh satu yayasan dari
negara lain karena prestasinya membina kerukunan umat beragama. Padahal sebenarnya
sang kepala negara bergeming sementara setiap hari berita pelecehan di sekitar
hidup keberagamaan di negaranya terus terdengar. Yayasan itu tentulah tahu
dengan jelas dan terang apa yang sebenarnya terjadi, sebab yayasan itu katanya
memiliki kredibilitas tinggi, didirikan dan dikelola oleh orang dari bangsa
yang katanya paling pintar, dan berada di negara yang bak mercusuar dunia. Namun
mereka tetap memberikan penghargaan tersebut. Dalam contoh kasus ini, tentulah
penghargaan tersebut dimaksudkan untuk mendorong sang kepala negara bertindak
nyata, bukan hanya kata yang lebih sering tidak ada (bahkan kedua-duanya, tidak
ada kata dan tindakan nyata), menyikapi sikap intoleran yang hampir (mungkin juga
sudah) mengakar dan menjadi karakter masyarakatnya.
Kisah imajiner ini mirip sekali dengan yang baru
saja terjadi, di mana Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menerima penghargaan World Statesman Award (WSA) dari Appeal of Conscience
Foundation (ACF, http://www.appealofconscience.org/). ACF
didirikan oleh seorang Rabbi Arthur Scheiner pada tahun 1965, sebagai keturunan
bangsa Yahudi. Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi atas kinerja
Presiden SBY yang dihitung berhasil membina kerukunan umat beragama. Padahal situasi
saat ini adalah situasi di mana kekerasan atas nama agama yang menyerang
komunitas agama lain sedang sangat hangat, bahkan panas. Umat Ahmadiyah dan
Syiah bukan hanya kehilangan tempat ibadah mereka, mereka bahkan juga
kehilangan rumah tempat tinggal mereka sendiri. Terusir dan sampai di
pengungsian. Demikian juga dengan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh umat
Kristen dalam membangun rumah ibadah, bahkan untuk beribadah sekalipun, dapat
dikatakan sebagai kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi. SKB 2
Menteri tentang pendirian rumah ibadah menyumbang semangat yang besar untuk
terjadinya berbagai peristiwa untuk ini. Tapi ACF tetap memberikan penghargaan
tersebut, dan Presiden SBY tetap hati untuk menerimanya. Biarlah. Que sera,
sera.
Saya hanya berharap kepercayaan saya benar, bahwa semoga
penghargaan itu diberikan untuk menyindir Presiden SBY (bandingkan seperti yang
dilakukan orang Yahudi sekitar dua ribu tahun yang lalu kepada Yesus Kristus). Maksudnya,
penghargaan WSA dari ACF kepada SBY menjadi sindiran yang kemudian menjadi dorongan
bagi beliau supaya giat memperhatikan dan menindak tegas intoleransi, bukan
dimaksudkan untuk mengejek. Kalau penghargaan itu diberikan dengan maksud
mengejek Presiden saya, mungkin saya akan marah. Mungkin.
“A crime committed in the name of religion is the
greatest crime against religion” (Appeal of Conscience Foundation).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa yang kita tulis merupakan apa yang kita katakan. Apa yang kita katakan keluar dari hati. Silakan berkata-kata dengan hati, sopan dan santun.