4 Jun 2013

WSA from ACF for SBY: berangkat dari refleksi INRI

Ada sebuah cerita menarik pada saat penyaliban Yesus Kristus. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa orang-orang Yahudi pada saat itulah sebenarnya yang menyalibkan Yesus Kristus, walaupun yang melaksanakannya prajurit Romawi. Dari Injil dapat didaftarkan beberapa tuduhan kepada Yesus, yaitu Yesus dikatakan menyesatkan banyak orang dengan ajaranNya, Yesus menghujat Allah dengan mengakui bahwa Dia adalah Anak Allah, Yesus mengaku bahwa Dia adalah raja orang Yahudi, dan masih ada beberapa tuduhan lain.

Pengakuan diriNya sebagai Anak Allah dan sebagai raja sebenarnya bukanlah berasal dari inisiatif Yesus sendiri untuk menyatakannya. Pengakuan itu keluar sebagai jawaban, di mana orang Yahudi sendiri atau Pontius Pilatus yang menanyakannya lebih dulu. “Apakah Engkau Anak Allah?” “Apakah Engkau raja orang Yahudi?” Lalu keluarlah jawaban yang menyatakan bahwa diriNya menyetujui apa yang dipertanyakan itu.

Pengakuan Yesus dalam jawabannya bahwa Dia adalah raja orang Yahudi, tentulah orang Yahudi tidak dapat menerima jawaban itu. Namun jawaban itu dipakai sebagai jebakan. Mereka meneguhkan Pilatus ketika gubernur di Yudea itu (tahun 26-36 M) ragu karena tidak mendapati kesalahan pada diri Yesus Kristus. Orang Yahudi mengatakan bahwa orang yang membela seseorang yang mengaku sebagai raja bukanlah sahabat kaisar (Romawi, pada saat itu kaisar Tiberius; Yoh. 19:12). Tidak bersahabat dengan kaisar tentulah tidak pernah diimpikan oleh seorang Pilatus. Akhirnya ia kalah dengan tuntutan massa dan memerintahkan untuk menyalibkan Yesus.

Lalu di sinilah menariknya. Orang Yahudi memakai pengakuan Yesus sebagai raja mereka hanya untuk memastikan Pilatus menjatuhkan hukuman. Namun sebenarnya bukan hal itu yang membuat mereka memaksa Pilatus untuk menjatuhkan hukuman salib. Disalibkan adalah hukuman yang terburuk dan hina dalam tradisi orang Yahudi. Orang yang disalibkan tidak menjejak tanah dan tidak juga berada di langit, melainkan tergantung di antara keduanya. Dengan kata lain, langit dan bumipun mereka buat untuk tidak menerima orang yang disalibkan tersebut. Karena itu, kesalahan yang mengantarkan orang menerima hukuman salib tentulah kesalahan yang sangat fatal dan tak terampuni, yaitu menghujat Allah (dalam hal ini karena Yesus mengakui diriNya sebagai Anak Allah).

Ketika Yesus disalibkan, prajurit Romawi meletakkan tulisan INRI, singkatan dari Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum di bagian atas salib tersebut. INRI, artinya “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi,” dan orang Yahudi tidak memrotes tulisan tersebut. Ini disebabkan oleh paling tidak dua hal, pertama bahwa memang bukan itu kesalahan utama Yesus bagi orang Yahudi, melainkan karena pengakuanNya sebagai Mesias, seperti diterangkan di atas. Yang kedua, orang Yahudi membiarkan tulisan tersebut tetap tinggal di salib itu dengan Yesus tergantung di sana, untuk mengejek Dia. Barangkali kita bisa menyebutnya dalam istilah sastra Bahasa Indonesia sebagai majas ironi, pujian yang dilontarkan namun dengan maksud untuk menyindir. Sama seperti ketika Yesus diludahi dan dipukuli setelah mengakui bahwa Dia adalah Mesias. Setelah diludahi dan dipukuli, orang Yahudi bertanya kepadaNya: “Cobalah katakan kepada kami, hai Mesias, siapakah yang memukul Engkau?” (Mat. 26:68). Mereka menyebutnya Mesias, yaitu manusia yang mereka nanti-nantikan selama berabad-abad (bahkan sampai saat ini), tapi meludahi dan memukuliNya.

Kalimat yang bersifat majas ironi, pujian yang dimaksudkan untuk menyindir, memang cenderung manjur untuk mendorong orang berbuat lebih baik. Misalnya seorang kepala negara yang dipuji oleh satu yayasan dari negara lain karena prestasinya membina kerukunan umat beragama. Padahal sebenarnya sang kepala negara bergeming sementara setiap hari berita pelecehan di sekitar hidup keberagamaan di negaranya terus terdengar. Yayasan itu tentulah tahu dengan jelas dan terang apa yang sebenarnya terjadi, sebab yayasan itu katanya memiliki kredibilitas tinggi, didirikan dan dikelola oleh orang dari bangsa yang katanya paling pintar, dan berada di negara yang bak mercusuar dunia. Namun mereka tetap memberikan penghargaan tersebut. Dalam contoh kasus ini, tentulah penghargaan tersebut dimaksudkan untuk mendorong sang kepala negara bertindak nyata, bukan hanya kata yang lebih sering tidak ada (bahkan kedua-duanya, tidak ada kata dan tindakan nyata), menyikapi sikap intoleran yang hampir (mungkin juga sudah) mengakar dan menjadi karakter masyarakatnya.

Kisah imajiner ini mirip sekali dengan yang baru saja terjadi, di mana Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima penghargaan World Statesman Award (WSA) dari Appeal of Conscience Foundation (ACF, http://www.appealofconscience.org/). ACF didirikan oleh seorang Rabbi Arthur Scheiner pada tahun 1965, sebagai keturunan bangsa Yahudi. Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi atas kinerja Presiden SBY yang dihitung berhasil membina kerukunan umat beragama. Padahal situasi saat ini adalah situasi di mana kekerasan atas nama agama yang menyerang komunitas agama lain sedang sangat hangat, bahkan panas. Umat Ahmadiyah dan Syiah bukan hanya kehilangan tempat ibadah mereka, mereka bahkan juga kehilangan rumah tempat tinggal mereka sendiri. Terusir dan sampai di pengungsian. Demikian juga dengan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh umat Kristen dalam membangun rumah ibadah, bahkan untuk beribadah sekalipun, dapat dikatakan sebagai kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi. SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah menyumbang semangat yang besar untuk terjadinya berbagai peristiwa untuk ini. Tapi ACF tetap memberikan penghargaan tersebut, dan Presiden SBY tetap hati untuk menerimanya. Biarlah. Que sera, sera.

Saya hanya berharap kepercayaan saya benar, bahwa semoga penghargaan itu diberikan untuk menyindir Presiden SBY (bandingkan seperti yang dilakukan orang Yahudi sekitar dua ribu tahun yang lalu kepada Yesus Kristus). Maksudnya, penghargaan WSA dari ACF kepada SBY menjadi sindiran yang kemudian menjadi dorongan bagi beliau supaya giat memperhatikan dan menindak tegas intoleransi, bukan dimaksudkan untuk mengejek. Kalau penghargaan itu diberikan dengan maksud mengejek Presiden saya, mungkin saya akan marah. Mungkin.



“A crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion” (Appeal of Conscience Foundation).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa yang kita tulis merupakan apa yang kita katakan. Apa yang kita katakan keluar dari hati. Silakan berkata-kata dengan hati, sopan dan santun.