24 Jun 2013

Jambore Anak Sekolah Minggu HKBP Distrik I Regional I Tabagsel

Tahun 2013 merupakan Tahun Anak bagi HKBP. Dalam tahun ini dilaksanakan rangkaian kegiatan gerejawi yang difokuskan pada pelayanan terhadap anak-anak Sekolah Minggu. Tujuan yang mau dicapai dalam Tahun Anak ini mengikuti tema umum HKBP tahun 2013, yaitu anak-anak HKBP menjadi berkat bagi dunia (Kej. 12:2). HKBP (seluruh gerejanya) akan berupaya membongkar nilai-nilai yang diperlukan untuk memperlengkapi anak-anak demi tujuan menjadi berkat bagi dunia. Dalam pelaksanaannya setiap gereja akan mengacu pada rangkaian kegiatan yang sudah diatur secara umum dalam Buku Panduan Tahun Anak HKBP 2013 itu. Untuk menyambut program ini, HKBP Distrik I Tabagsel – Sumbar (Regional Tabagsel) mengadakan kegiatan Jambore Anak Sekolah Minggu.

Jambore Anak Sekolah Minggu Distrik I Regional I Tabagsel dilaksanakan mulai pada hari Jumat, 21 – Minggu 23 Juni 2013. Kegiatan dilaksanakan di areal Sekolah Abdi Masyarakat yang berlokasi di desa Purba Tua, Kecamatan Sisoma, Kabupaten Tapanuli Selatan. Ketua Panitia adalah St. Drs. FT Sitompul namun karena jarak kantor distrik ke lokasi pelaksanaan Jambore cukup jauh maka dibentuk lagi panitia lokal. Panitia lokal inilah yang lebih banyak berurusan dalam mempersiapkan areal dan sarana prasarananya, diserahkan kepada HKBP Purba Tua yang dipimpin oleh Gr. Fernando Rajagukguk. Jemaat HKBP Purba Tua yang berressort ke HKBP Ress. Sisoma (dipimpin Pdt. H. Pane, STh.) sangat antusias dan bekerja maksimal dalam melayani peserta Jambore. Kiranya Tuhan senantiasa memberkati mereka.

Anak-anak Sekolah Minggu datang dari setiap ressort yang ada di Regional I Tabagsel (kecuali dari Ress. Sipiongot) didampingi oleh penatua (atau pembina) dan Guru-guru Sekolah Minggu masing-masing. Panitia menghitung jumlah anak Sekolah Minggu yang mengikuti yaitu berkisar 750 orang, ditambah dengan para pendamping diperkirakan jumlah yang hadir dalam acara tersebut lebih dari 800 orang. Anak-anak Sekolah Minggu sangat bersemangat, terutama setelah praeses mengajarkan yel-yel untuk kegiatan Jambore ini:

Sekolah Minggu HKBP Distrik I …… OKE!!!
Jambore Anak Sekolah Minggu …… MANTAP!!!
HKBP …… YES! YES! YES!!!

Dalam kegiatan Jambore ini ada dua tim yang mengisi kegiatan out-door. Tim pertama adalah Tim Outbond Saber, yaitu 30 orang remaja dan pemuda dari beberapa gereja HKBP di kota Padangsidimpuan. Mereka dibentuk sebagai sebuah tim dan dilatih secara langsung oleh praeses Pdt. Sunggul P. Sirait, STh. MM., dan dikoordinir oleh ketua Pelaksana Pelayanan Naposobulung Distrik (PPND), Sdr. Jhony Simanjuntak, ST. Tim dibagi menjadi beberapa kelompok dan mengajarkan masing-masing satu jenis permainan. Ada tiga belas jenis permainan yang dilakukan oleh anak-anak Sekolah Minggu yang dibagi ke dalam tiga belas kelompok, sehingga semua anak Sekolah Minggu berkesempatan terlibat pada semua permainan.


Setelah selesai memainkan satu permainan, tim Saber akan mengajak adik-adik Sekolah Minggunya berdiskusi singkat. Mereka menanyakan dari permainan yang baru dilakukan, apa-apa saja sebenarnya yang dibutuhkan kelompok tersebut supaya berhasil dan selamat memainkannya. Adik-adik Sekolah Minggu akan menjawab: kekompakan, kerjasama, kesabaran, dan beberapa nilai lain. Itulah yang diharapkan tertanam dalam diri anak Sekolah Minggu HKBP sehingga karakternya diharapkan akan terbangun dari nilai-nilai tersebut.


Tim kedua yang mengisi kegiatan out-door adalah tim EE Kids (Evangelism Explosion for Kids). Tim ini terbentuk setelah HKBP Distrik I mengirimkan utusannya dari kalangan pemuda untuk mengikuti kegiatan pelatihan EE Kids di Parapat beberapa waktu yang lalu. Dengan penuh rasa tanggung jawab beberapa dari utusan yang dikirim itu menyanggupi permintaan praeses untuk melayani di Jambore Anak Sekolah Minggu ini. Beberapa dari mereka tidak dapat hadir, mudah-mudahan hanya oleh halangan yang baik.

Tim sangat bersemangat melayani anak-anak Sekolah Minggu, mengajarkan nyanyian baru dengan gerakan-gerakan atraktif dan menyenangkan, menanamkan pengakuan-pengakuan iman kristiani dengan cara yang kreatif. Tim mampu menghipnotis anak Sekolah Minggu sehingga dengan penuh semangat semua mengikuti apa yang diajarkan dan dipraktekkan dari panggung. Bukan hanya anak-anak Sekolah Minggu, para pendamping bahkan orangtua juga terlihat sangat menikmati pelayanan tim EE Kids ini.

Hari Minggu, 23 Juni 2013, yaitu hari terakhir Jambore, diadakan kebaktian raya yang diikuti oleh peserta dan jemaat Purba Tua, dan Persekutuan Perempuan Distrik (PPD) juga hadir pada saat kebaktian. Yang mempersembahkan paduan suara pada saat kebaktian adalah anak-anak Sekolah Minggu, PPND dan PPD. Liturgis dalam kebaktian dibawakan oleh Pdt. Leritio br Panjaitan, yaitu Pendeta HKBP Ressort Sipirok, dan pemberitaan firman dibawakan oleh praeses.

Kegiatan Jambore ini diadakan dengan penuh harapan akan terbangunnya karakter kristiani yang kuat pada setiap anak Sekolah Minggu. Dengan tema: Anak Sekolah Minggu menjadi berkat bagi dunia, sebenarnya bukan suatu cita-cita yang muluk-muluk. Tentu kita tidak berharap anak-anak Sekolah Minggu harus menjadi seorang anak yang jenius dengan level IQ di atas rata-rata. Namun jika kita berbicara tentang “berkat” maka kita tidak selalu dapat merumuskannya menjadi sesuatu yang melulu materiil atau suatu karya yang brilian. Gereja kita telah menyebutnya “berkat” sejak seorang anak dilahirkan ke dunia, sebelum diketahui sang anak akan menjadi apa kelak. Sebab memang berkat adalah kata yang terejawantah dari rasa syukur, rasa yang tak terukur dan hanya dapat dialami dengan iman.

Begitulah Tuhan Yesus memberkati anak-anak dalam Mat. 19:14, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu; sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” “Yang empunya Kerajaan Sorga,” maksudnya orang-orang seperti apa? Seperti anak-anak? Ya, seperti anak-anak. Kalau kita perhatikan anak-anak, mereka adalah pecinta damai yang sejati. Jikapun mereka bertengkar dengan sesama, tak sampai satu atau dua jam kemudian mereka akan kembali tertawa dan bermain bersama lagi. Tidak ada dendam, tipu, kecurangan, yang ada hanya keceriaan, sukacita dan rasa percaya. Dengan rasa percaya itu mereka tidak bergantung atau bersandar pada pengertian sendiri. Jika mereka menemukan kesulitan atau bahkan dalam keadaan takut, mereka akan segera berlari kepada bapak atau ibunya.

Itu menjadi khotbah bagi orang-orang dewasa yang sering mengandalkan kekuatan dan pengertian sendiri, bahkan bersandar padanya (lihat Ams. 3:5). Rasul Paulus juga memberi kesaksian, “sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (lihat 2 Kor. 12:9-10). Sebab Tuhan berpihak pada dan akan membela orang-orang lemah dan melawan orang-orang kuat yang jahat, seperti dalam Magnificat (Luk. 1:46-55), puji-pujian dari Ibu Yesus terutama ayat 51-53.

Karena itu, anak-anak adalah pemberita Injil yang menyampaikan khotbah-khotbahnya dengan hidupnya sendiri. Itulah sebabnya Tuhan Yesus cinta dan sayang kepada anak-anak, memberkati dan melindungi mereka. Itu kiranya mendorong Gereja sebagai Tubuh Kristus untuk menjaga anak-anak sebagai berita Injil, sebab mereka bertumbuh dan akan segera menjadi dewasa dan pada saat yang bersamaan dan beriringan “dunia” akan senantiasa mencoba “merenggut” mereka. Gereja dapat melakukan tugas itu mulai dari tengah-tengah keluarga, sebagai Gereja Kecil. Perlu juga diadakan program-program berkualitas seperti Jambore Anak Sekolah Minggu Distrik I ini, walaupun dengan biaya yang cukup besar.

Mengingat perihal biaya pelaksanaan yang cukup besar, saya teringat ketika bercakap-cakap dengan bapak St. Bantu Dongoran, penatua di HKBP Pasar Ujung Batu yang mendampingi peserta Sekolah Minggu dari HKBP Ressort Sion Nauli Ujung Batu Sosa, di sela-sela kegiatan Jambore. Beliau mengatakan dengan bahasanya kira-kira demikian, “molo tu angka Sikola Minggu on, saonari do pengeluaran on alai sogot halak i do pemasukan ni huria i.” Kira-kira artinya, segala tenaga dan biaya yang dikeluarkan pada saat ini untuk membina anak-anak Sekolah Minggu merupakan investasi dan aset pada masa depan, ketika tiba gilirannya anak-anak Sekolah Minggu saat ini melayani di HKBP yang kita cintai di masa depan. Kiranya Tuhan Yesus memberkati HKBP dan anak-anak Sekolah Minggu.

Salam hangat buat tim EE Kids dan tim outbond Saber (Salak Berduri) yang heboh-heboh :) selamat melayani.

4 Jun 2013

WSA from ACF for SBY: berangkat dari refleksi INRI

Ada sebuah cerita menarik pada saat penyaliban Yesus Kristus. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa orang-orang Yahudi pada saat itulah sebenarnya yang menyalibkan Yesus Kristus, walaupun yang melaksanakannya prajurit Romawi. Dari Injil dapat didaftarkan beberapa tuduhan kepada Yesus, yaitu Yesus dikatakan menyesatkan banyak orang dengan ajaranNya, Yesus menghujat Allah dengan mengakui bahwa Dia adalah Anak Allah, Yesus mengaku bahwa Dia adalah raja orang Yahudi, dan masih ada beberapa tuduhan lain.

Pengakuan diriNya sebagai Anak Allah dan sebagai raja sebenarnya bukanlah berasal dari inisiatif Yesus sendiri untuk menyatakannya. Pengakuan itu keluar sebagai jawaban, di mana orang Yahudi sendiri atau Pontius Pilatus yang menanyakannya lebih dulu. “Apakah Engkau Anak Allah?” “Apakah Engkau raja orang Yahudi?” Lalu keluarlah jawaban yang menyatakan bahwa diriNya menyetujui apa yang dipertanyakan itu.

Pengakuan Yesus dalam jawabannya bahwa Dia adalah raja orang Yahudi, tentulah orang Yahudi tidak dapat menerima jawaban itu. Namun jawaban itu dipakai sebagai jebakan. Mereka meneguhkan Pilatus ketika gubernur di Yudea itu (tahun 26-36 M) ragu karena tidak mendapati kesalahan pada diri Yesus Kristus. Orang Yahudi mengatakan bahwa orang yang membela seseorang yang mengaku sebagai raja bukanlah sahabat kaisar (Romawi, pada saat itu kaisar Tiberius; Yoh. 19:12). Tidak bersahabat dengan kaisar tentulah tidak pernah diimpikan oleh seorang Pilatus. Akhirnya ia kalah dengan tuntutan massa dan memerintahkan untuk menyalibkan Yesus.

Lalu di sinilah menariknya. Orang Yahudi memakai pengakuan Yesus sebagai raja mereka hanya untuk memastikan Pilatus menjatuhkan hukuman. Namun sebenarnya bukan hal itu yang membuat mereka memaksa Pilatus untuk menjatuhkan hukuman salib. Disalibkan adalah hukuman yang terburuk dan hina dalam tradisi orang Yahudi. Orang yang disalibkan tidak menjejak tanah dan tidak juga berada di langit, melainkan tergantung di antara keduanya. Dengan kata lain, langit dan bumipun mereka buat untuk tidak menerima orang yang disalibkan tersebut. Karena itu, kesalahan yang mengantarkan orang menerima hukuman salib tentulah kesalahan yang sangat fatal dan tak terampuni, yaitu menghujat Allah (dalam hal ini karena Yesus mengakui diriNya sebagai Anak Allah).

Ketika Yesus disalibkan, prajurit Romawi meletakkan tulisan INRI, singkatan dari Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum di bagian atas salib tersebut. INRI, artinya “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi,” dan orang Yahudi tidak memrotes tulisan tersebut. Ini disebabkan oleh paling tidak dua hal, pertama bahwa memang bukan itu kesalahan utama Yesus bagi orang Yahudi, melainkan karena pengakuanNya sebagai Mesias, seperti diterangkan di atas. Yang kedua, orang Yahudi membiarkan tulisan tersebut tetap tinggal di salib itu dengan Yesus tergantung di sana, untuk mengejek Dia. Barangkali kita bisa menyebutnya dalam istilah sastra Bahasa Indonesia sebagai majas ironi, pujian yang dilontarkan namun dengan maksud untuk menyindir. Sama seperti ketika Yesus diludahi dan dipukuli setelah mengakui bahwa Dia adalah Mesias. Setelah diludahi dan dipukuli, orang Yahudi bertanya kepadaNya: “Cobalah katakan kepada kami, hai Mesias, siapakah yang memukul Engkau?” (Mat. 26:68). Mereka menyebutnya Mesias, yaitu manusia yang mereka nanti-nantikan selama berabad-abad (bahkan sampai saat ini), tapi meludahi dan memukuliNya.

Kalimat yang bersifat majas ironi, pujian yang dimaksudkan untuk menyindir, memang cenderung manjur untuk mendorong orang berbuat lebih baik. Misalnya seorang kepala negara yang dipuji oleh satu yayasan dari negara lain karena prestasinya membina kerukunan umat beragama. Padahal sebenarnya sang kepala negara bergeming sementara setiap hari berita pelecehan di sekitar hidup keberagamaan di negaranya terus terdengar. Yayasan itu tentulah tahu dengan jelas dan terang apa yang sebenarnya terjadi, sebab yayasan itu katanya memiliki kredibilitas tinggi, didirikan dan dikelola oleh orang dari bangsa yang katanya paling pintar, dan berada di negara yang bak mercusuar dunia. Namun mereka tetap memberikan penghargaan tersebut. Dalam contoh kasus ini, tentulah penghargaan tersebut dimaksudkan untuk mendorong sang kepala negara bertindak nyata, bukan hanya kata yang lebih sering tidak ada (bahkan kedua-duanya, tidak ada kata dan tindakan nyata), menyikapi sikap intoleran yang hampir (mungkin juga sudah) mengakar dan menjadi karakter masyarakatnya.

Kisah imajiner ini mirip sekali dengan yang baru saja terjadi, di mana Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima penghargaan World Statesman Award (WSA) dari Appeal of Conscience Foundation (ACF, http://www.appealofconscience.org/). ACF didirikan oleh seorang Rabbi Arthur Scheiner pada tahun 1965, sebagai keturunan bangsa Yahudi. Penghargaan itu diberikan sebagai apresiasi atas kinerja Presiden SBY yang dihitung berhasil membina kerukunan umat beragama. Padahal situasi saat ini adalah situasi di mana kekerasan atas nama agama yang menyerang komunitas agama lain sedang sangat hangat, bahkan panas. Umat Ahmadiyah dan Syiah bukan hanya kehilangan tempat ibadah mereka, mereka bahkan juga kehilangan rumah tempat tinggal mereka sendiri. Terusir dan sampai di pengungsian. Demikian juga dengan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh umat Kristen dalam membangun rumah ibadah, bahkan untuk beribadah sekalipun, dapat dikatakan sebagai kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi. SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah menyumbang semangat yang besar untuk terjadinya berbagai peristiwa untuk ini. Tapi ACF tetap memberikan penghargaan tersebut, dan Presiden SBY tetap hati untuk menerimanya. Biarlah. Que sera, sera.

Saya hanya berharap kepercayaan saya benar, bahwa semoga penghargaan itu diberikan untuk menyindir Presiden SBY (bandingkan seperti yang dilakukan orang Yahudi sekitar dua ribu tahun yang lalu kepada Yesus Kristus). Maksudnya, penghargaan WSA dari ACF kepada SBY menjadi sindiran yang kemudian menjadi dorongan bagi beliau supaya giat memperhatikan dan menindak tegas intoleransi, bukan dimaksudkan untuk mengejek. Kalau penghargaan itu diberikan dengan maksud mengejek Presiden saya, mungkin saya akan marah. Mungkin.



“A crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion” (Appeal of Conscience Foundation).